Monday, 10 April 2017

TULUS KASIHNYA

"OM SWASTI ASTU"

Dahulu kala hiduplah seorang ibu dan anak laki-lakinya yang berumur 12 tahun di pelosok sebuah desa. Mereka tinggal pada sebuah gubuk reot yang berdiri di tepi sungai dan dekat dengan hutan. Dia hidup hanya berdua saja dengan anaknya dalam satu atap, dikarenakan suami tercintanya telah meninggalkan dunia ini. Ibu dan anak ini sifatnya begitu lugu, maklum karena mereka tak pernah mengenyam bangku pendidikan. Dalam kesehariannya, ibu itu hanya bekerja sebagai buruh pasar. Tapi walau terlilit akan kesusahan hidup mereka tak pernah mengeluh, tapi itu malah menjadi penyebab mereka untuk selalu bersyukur.

Tepat di sebelah kanan gubuk mereka, berdirilah sebuah batu cadas besar warna hitam, berdiri tegak dan berbentuk lonjong. Mereka dalam kesehariannya memuja Tuhan melalui batu tersebut. Karena kesederhanaan cara berpikir dan kepolosan hatinya akan kepercayaannya kepada Tuhan, mereka pun menganggap batu tersebut sebagai stana Tuhan.

Suatu hari si anak bertanya kepada ibunya, maka terjadilah sebuah percakapan pendek antara keduanya ;

Anak ; ibu siapakah Tuhan itu?

Ibu ; ibu kurang begitu tahu nak, orang-orang di desa sana bilang bahwa Tuhan itu yang menciptakan seluruh alam dan isinya

Anak ; wah Tuhan itu hebat ya bu bisa menciptakan apa saja, tapi kenapa kita memuja Tuhan lewat batu besar itu bu?

Ibu ; kata orang lagi Tuhan itu ada dimana-mana, jadi di batu itu pun bisa ada Tuhan kalau kita percaya.

Anak : terus apa ibu pernah bertanya sama mereka, wujud Tuhan itu bagaimana?

Ibu : kalau itu ibu tidak tahu nak, tapi katanya manifestasi beliau berbentuk macam-macam, yang ibu sering dengar ada yang mirip manusia, terus leherNya di lilit ular, dan tubuhnya dibalur abu.

Anak : oh begitu !! (sambil membayangkan wujud manifestasi Tuhan dalam benaknya).

Setelah mendengar penjelasan ibunya yang ala kadarnya, anak ini pun semakin taat bersembahyang pada batu tersebut. Hampir tiap hari jika dia main ke hutan dan mendapatkan buah-buahan, dia selalu mempersembahkan terlebih dulu pada batu itu. Dengan beralaskan sebuah daun lalu diletakkan di depan batu tersebut, dan berucap "Tuhan semoga Engkau menerima buah yang kupetik di hutan". (ini adalah ajaran ibunya agar senantiasa menghaturkan terlebih dulu apapun yg diperolehnya ketika bermain di hutan).

Suatu hari ibunya sakit, karena tak tahu harus berbuat apa, dia hanya menjaga seharian ibunya di dalam ruangan. Sore hari dia mencoba mencari buah-buahan segar di hutan untuk makanan ibunya. Karena tak mendapatkan perawatan yang benar, kian hari sakit ibunya semakin parah. Mengetahui hal itu dia segera berlari keluar menuju batu tersebut, sambil mencangkupkan tangan lalu berdoa "Tuhan, katanya Engkau lah pencipta alam dan isinya, ku mohon padaMu sembuhkanlah ibuku, karena tentu bagiMu itu bukan hal yang sulit", dengan terbata-bata dia berkata, dan tangannya dia pakai berulang kali untuk menyeka air matanya yang selalu mengalir. Setelah berdoa dia lari ke arah desa, di sana dia memohon kepada orang-orang agar membantunya menyelamatkan ibunya, tapi tak seorang pun mengindahkan perkataan anak tersebut. Hingga malam pun merangkak naik, hujan turun begitu lebatnya, anak tersebut menyerah dan segera kembali pulang ke rumahnya, dengan tubuh basah kuyup dan kelelahan.

Dia segera masuk menemui ibunya, dihampiri tubuh ibunya, dilihat sang ibu telah terbujur kaku, meninggalkan dia seorang diri di tengah kerasnya hidup ini. Tak pelak lagi, dia berteriak histeris, menangis meraung-raung meratapi kepergian ibu tercintanya.  Ditengah terpaan hujan, dia melangkah dengan sangat lemah menuju batu tersebut, tangisnya selalu menyertai tiap derap langkahnya. Diambilnya sebuah batu runcing, lalu di samping batu cadas besar itu, dia membuat lubang untuk makam ibunya. Dengan perasaan hancur mulai lah tanah itu di gali, dengan tangan yang sudah mengembang kedinginan dia meraup tanah membawa keluar lubang. Setelah di rasa kedalaman lubang itu cukup, lalu anak ini kembali ke dalam untuk membawa jasad ibunya ke luar. Ditariknya balai bambu tempat ibunya terbaring kaku, sedikit demi sedikit akhirnya sampai juga dia di depan lubang, lantas dia pun mulai menguburkan jenasah ibunya.

Usai menguburkan jenasah ibunya, dia lalu bertekuk lutut di depan batu itu, berkata sambil menangis "Sekarang aku sangat marah padaMu, Engkau mampu menciptakan alam dan isinya, tapi kenapa hanya untuk menghidupkan kembali ibuku Engkau tak mau mengabulkan permohonanku, walau aku begitu marah padamu, tapi aku tak bisa membencimu, karena itu adalah perintah ibuku. Dia adalah orang yang telah Kau renggut dari sisiku. Kumohon untuk yang kesekian kali jagalah ibu agar selalu berada disisimu Tuhan". Selesai berkata begitu, dia memeluk batu besar tersebut sambil membentur-benturkan kepalanya. Tak berapa lama dia tak mampu merasakan tubuhnya lagi, dia pun terhuyung dan jatuh tergeletak pingsan malam itu di depan batu dan makam ibunya.

Paginya diceritakanlah seorang raja, menteri, dan para prajuritnya pergi ke hutan untuk berburu, karena tak kunjung menemukan binatang buruan akhirnya mereka semakin masuk ke hutan dan tersesat. Mereka pun tiba di tepi sungai, lalu menyusuri pinggiran sungai untuk menemukan jalan pulang. Tiba-tiba raja menghentikan rombongannya, karena melihat seorang anak kecil yang pingsan di tengah jalan. Karena tak tega melihat keadaan anak itu, sang raja memerintahkan bawahannya untuk membantu menyadarkan anak malang tersebut.

Anak itu pun siuman dari pingsannya, setelah dirasa keadaanya cukup tenang sang raja lalu bertanya tentang kejadian yang menimpanya. Diceritakanlah semua kejadiannya dengan jujur, mendengar cerita si anak yang begitu tragis, akhirnya sang raja memutuskan akan membawa anak tersebut ke kerajaan untuk di didik agar kemudian hari menjadi salah satu prajuritnya. Sebelum ikut ke kerajaan dia tak lupa meminta ijin kepada batu dan makam ibunya.

Tahun demi tahun pun berganti, si anak tersebut tumbuh menjadi lelaki yang perkasa. Atas kesetiaan, kemampuan, dan pretasinya kini anak tersebut menjadi seorang perwira dalam ketentaraan raja. Setelah dia mempunyai rumah sendiri, dia berniat membawa batu besar itu ke rumahnya, karena dia teringat pesan ibu tercinta. Akhirnya batu besar itu berhasil dibawa ke rumah baru, dan dia pun taat memujanya seperti apa yang menjadi perintah ibunya langsung. Kini dia telah dewasa, dan sedikit tidaknya dia kini mengerti, siapa manifestasi Tuhan yang ibunya maksudkan. Pada akhirnya dia pun menjadi seorang pemuja yang taat padaNya. Pada kehidupan sehari-harinya dia kerap mengunjungi makam ibunya, dan sikapnya kepada penduduk sekitar sangat baik dan santun, tak ada rasa dendam pun dalam hatinya atas peristiwa terdahulu.

Pesan Penulis

Yakinlah bahwa sebuah jalan Tuhan, belum tentu jalan yang tercepat, dan jangan pula beranggapan itu adalah sebuah jalan yang mudah untuk dilalui, tapi percayalah bahwasanya jalan Tuhan adalah sebuah jalan yang pasti terbaik untuk umatNya.

Apapun yang kita alami kini, memang belum tentu akan segera kita mengerti.  Tapi mari tanamkan dalam diri kita masing-masing, bahwa Tuhan selalu merencanakan akhir yang indah pada waktunya.

"OM SHANTI, SHANTI, SHANTI, OM"

oleh Gede Laksana





3 comments:

UDENG

" OM SWASTIASTU " Tata busana orang-orang Bali ketika melaksanakan suatu upacara atau kegiatan keagamaan memiliki ciri-ciri ...