Sunday 30 April 2017

BENARKAH BERBAKTI KEPADA LELUHUR ITU KELIRU ?

" OM SWASTIASTU "


Sebelum kita melanjutkan ke isi pokok dari tulisan ini, ada baiknya kita menyimak terlebih dahulu sekelumit percakapan antara Yaksa (Dewa Yama/Dharma yang sedang menyamar) dengan Yudistira/Dharmawangsa (putra dari Dewa Yama sendiri), yang sudah saya seleksi agar adanya keterkaitan dengan isi tulisan ini.
Yaksa : apa yang lebih tinggi dari langit?
Yudhistira : Yang lebih tinggi dari langit adalah seorang ayah/bapak.
Yaksa: "Apa yang lebih berat dari bumi?
Yudistira : Yang lebih berat dari bumi adalah seorang Ibu.
Yaksa : "Apakah yang lebih mulia dan lebih menghidupi manusia daripada bumi ini?
Yudistira : "Ibu, yang melahirkan dan membesarkan anak-anaknya, lebih mulia dan memberikan kehidupan lebih besar daripada bumi ini.
Nah para pembaca, dari percakapan diatas kita bisa menyimak pesan-pesan apa yang sebenarnya ingin disampaikan kepada kita. Inti dari pesan diatas, bahwa begitu mulianya kedudukan leluhur itu (leluhur adalah sebutan yang normalnya dikaitkan kepada orang tua maupun orang tua leluhur seperti kakek, nenek, canggah, dan seterusnya dalam keberadaan kita disini). Tanpa adanya mereka tentulah kita tidak akan ada di dunia ini.
Itulah mengapa orang Hindu menempatkan orang tua sebagai Tuhan Sekala dan senantiasa berbakti kepada para Leluhurnya. Mari kita simak salah satu sloka dalam kitab Taittiriya Upanisad yang berbunyi “Pitri deva bhava, matri deva bhava”. (Vana Parva 27.21) yang berarti bahwa "ayah dan ibu termasuk sebagai Guru, di samping Agni, Atman, dan Rsi". Atau jika disimpulkan pengertiannya akan sama dengan Ayah adalah perwujudan Tuhan, demikian juga Ibu adalah perwujudan Tuhan.
Dalam kekawin Nitisastra VIII.3 disebutkan tentang Panca Vida, yang berarti lima hal yang menyebabkan anak harus berbakti kepada orang tua, antara lain yaitu
1. Sang Ametwaken yang bermakna bahwa karena pertemuan (hubungan suami/ istri) ayah dan ibulah maka lahirlah anak-anak dari kandungan ibu. Perjalanan hidup ayah dan ibu sejak kecil hingga dewasa, kemudian menempuh kehidupan Grahasta, sampai mengandung bayi dan selanjutnya melahirkan, dipenuhi dengan pengorbanan-pengorbanan.
2. Sang Nitya Maweh Bhinojana yang bermakna bahwa ayah dan ibu selalu mengusahakan memberi makan kepada anak-anaknya. Bahkan tidak jarang dalam keadaan kesulitan ekonomi, ayah dan ibu rela berkorban tidak makan, namun mendahulukan anak-anaknya mendapat makanan yang layak. Ibu memberi air susu kepada anaknya, cairan yang keluar dari tubuhnya sendiri.
3. Sang Mangu Padyaya yang bermakna bahwa ayah dan ibu menjadi pendidik dan pengajar utama. Sejak dari kecil kita telah diajari menyuap nasi, merangkak, berdiri, berbicara, sampai menyekolahkan. Pendidikan dan pengajaran oleh ayah dan ibu ini merupakan dasar pengetahuan bagi kesejahteraan anak-anaknya di kemudian hari.
4. Sang Anyangaskara yang bermakna bahwa ayah dan ibu melakukan upacara-upacara manusa yadnya bagi anak-anaknya dengan tujuan men-sucikan atma dan stula sarira. Upacara-upacara itu dimulai sejak bayi dalam kandungan sampai lahir, besar dan dewasa: Magedong-gedongan, Embas rare, Kepus udel, Tutug Kambuhan, Telu bulanan, Otonan, Menek kelih, Mepandes, Pawiwahan.
5. Sang Matulung Urip Rikalaning Bayayang yang bermakna bahwa ayah dan ibulah pembela anak-anaknya bila menghadapi bahaya, menghindarkan serangan penyakit dan menyelamatkan nyawa anak-anaknya dari bahaya lainnya.
Nah ketika para pembaca telah usai membaca dan memahami isi tulisan diatas, maka saya yakin para pembaca mulai mengerti, dan mungkin saja akan ada sebuah pertanyaan seperti "Seberapa besarkah peran leluhur kepada kita?". Jawabannya adalah tak terhingga. Terus akan ada sebuah pertanyaan terlontarkan lagi, "Bisakah kita melunasi dan membalas hutang kita kepada Beliau?". Jawabannya adalah hutang kita kepada leluhur tentu tak kan pernah terlunasi walau apapun yang kita lakukan untuk Beliau, tapi kita tetap bisa membalas kebaikan mereka dengan jalan berbicara kepada kedua orang tua itu harus dengan sopan, santun dan lembut, taat kepada semua perintah orang tua, berusaha sekuat tenaga untuk menjaga nama baik orang tua, ringankanlah beban mereka, janganlah berbohong kepada kedua orang tua, jangan mengutamakan istri dan anak-anak daripada orang tua, dan masih banyak hal-hal baik yang bisa kita lakukan untuk mereka.

Terus bagaimana jika leluhur kita telah meninggal? Yuk simak tulisan dibawah ini sebentar.

Saya lihat belakangan ini semeton Hindu di Bali sedikit dibingungkan pada sebuah penafsiran yang mungkin kurang pas tentang Bhakti Marga, dimana saya pernah mendengar selentingan bahwa umat Hindu di Bali yang menjalani tradisi Gama Bali atau Gama Tirta kurang paham sehingga kurang mengikuti ajaran Weda sesuai aslinya. ini dikarenakan penafsiran sloka pada Bhagawad Gita oleh beberapa orang yang mengikuti ajaran sampradaya. Bagi mereka memuja leluhur itu kurang tepat, karena yang lebih tepat adalah memuja Tuhan. 

Mungkin saja dalam anggapan mereka, krama Bali yang meneruskan tradisi Gama Bali "kurang paham ajar­an agama" atau sebutan lainnya. Maka dari itu, menghindari persepsi yang keliru tentang penafsiran sloka Bhagawad Gita, mari kita sama-sama menafsirkannya. Berikut ini petikan sloka bhagawad gita yang ditafsirkan sebagai hukum pembenaran yang menyatakan pemujaan kepada leluhur oleh krama Hindu Bali tersebut kurang tepat


yanti deva-vrata devan
pitrn yanti pitr-vratah
bhutani yanti bhutejya
yanti mad-yajino 'pi mam
(BG IX.25)

yang sering diartikan; “Yang memuja dewata pergi ke­pada dewata, kepada leluhur perginya yang memuja leluhur me­reka, dan kepada roh alam perginya yang memuja roh alam, te­tapi mereka yang memuja-Ku, datang kepada-Ku.”

Ketiga bentuk pemujaan ini, baik kepada dewa-dewa, leluhur, maupun roh suci yang ada di alam, semuanya mendapatkan pahala. Semuanya bisa dibenarkan, namun Sri Krisna mengajarkan jika umat memuja Tuhan secara langsung, itulah yang terbaik

Pertanyaannya "Yang bagaimana disebut dengan memuja Tuhan secara langsung? Bukankah Tuhan memiliki ribuan sinar? Yang dalam ajaran Reg Weda, sinar suci Tuhan ada 33 ? Dan dari 33 tersebut, yang manakah Tuhan? Bukankah Tuhan ada disetiap ciptaanNya?

Mungkin beberapa orang ada yang lupa dengan sloka Bhagawad Gita yang isinya seperti berikut ini; 


yo yo yam yam tanum bhaktah
sraddhayarcitum icchati
tasya tasyacalam sraddham
tam eva vidadhamy aham
(BG VII.21)

yang berarti : "apa­pun bentuk kepercayaan yang ingin dipeluk oleh penganut aga­ma, Aku perlakukan kepercayaan mereka sama supaya tetap te­guh dan sejahtera”.

Sloka ini adalah kelanjutan dari sebuah penjelasan bagai­mana jika umat menyelengarakan ritual untuk memuja dewa­ta. Di sini jelas disebutkan bahwa perbedaan dalam melakukan pe­mujaan itu hasilnya sama saja menuju Aku (Tuhan Yang Esa).

Nah kembali ke pemujaan leluhur, dimana oleh krama Hindu di Bali pemujaan tersebut biasanya dicirikan dengan adanya bangunan Sanggah Kemulan, Dewa Hyang, Pelinggih Pitra/Pelinggih Ibu/Paibon. Disamping itu ciri pemujaan leluhur yang sangat melekat pada krama Hindu penganut ajaran Gama Bali adalah dengan adanya kawitan, melalui Pura Kawitan.

Benarkah, pemujaan tersebut salah? Adakah dasar sastra yang membenarkan adanya jalan bhakti lewat pemujaan leluhur? 

Untuk itu mari cermati hal ini, krama/orang Bali mengawali pemujaan leluhur karena beberapa hal, pertama adanya sloka dalam Upanisad, dan yang kedua adanya contoh dari Itihasa. Dasar sloka suci Taittiriya Upanisad yang menjadi acuan dalam pemujaan kepada leluhur adalah

"matrdevo bhava pitrdevobhava, acaryadevo bhava atithidevo bhava" (Taittiriya Up.I.11)

yang artinya: "Seorang ibu adalah dewa, seorang bapak adalah dewa, seorang guru adalah juga dewa dan para tamu pun adalah dewa"

Dari sloka diatas, dapat dilihat bahwa orang tua, orang yang menyebabkan kita lahir adalah dewa yang hendaknya kita puja dan hormati. atas jasa-jasa beliau kita bisa hadir didunia ini, karena itu setiap manusia memiliki kewajiban untuk mengingat hal tersebut, yang kemudian dikenal dengan sebutan Pitra Rna, yaitu hutang atau kewajiban yang harus dijalankan untuk mengenang jasa-jasa orang tua kita beserta orang yang telah mengadakan/melahirkan orang tua kita atau leluhur.

Untuk "membayar hutang" (Pitra Rna) kepada orang tua kita terdapat 3 jalan, diantaranya:

1. Semasa hidup dilakukan Manusa Yadnya. Manusa Yadnya disini maksudnya dimana seorang anak/cucu selalu hormat dan melayani orang tua beserta keluarga, dimana orang tua tinggal dan saudara keluarga tempat orang tua kita dilahirkan.

2. Saat meninggal dunia dilakukan Pitra Yadnya. Pitra yadnya dilakuan, mulai dari semenjak meninggal hingga beliau disemayamkan dalam tempat suci keluarga, dan ritual terakhirnya adalah Yadnya Panilapatian yang maknanya mengangkat status leluhur menjadi Hyang Guru, sehingga beliau dapat berstana di linggih Kemulan.
3. Dan bukti besarnya ikatan cinta kepada keluarga, dilakukanlah Dewa Yadnya. Dewa Yadnya disini maksudnya, setelah leluhur menjadi hyang guru, kita anak cucu keturunannya senantiasa mengingat keberadaan beliau dengan melakukan yadnya piodalan yang artinya merayakan untuk memperingati pertama kalinya dilaksanakan dewa yadnya untuk sanggah kemulan tersebut.

Dari sebelum kita lahir kita sudah diupacarai kemudian setelah lahir, beranjak remaja hingga akhirnya menikah juga diupacarai. Mereka sangat berperan dalam kehidupan kita. Itulah mengapa dikatakan mulai dari Orang Tua hingga keatasnya wajib untuk kita selalu berbhakti baik ketika masih hidup ataupun sudah wafat.

Dalam Kitab Sarasamuccaya, disebutkan ada empat pahala bagi mereka yang berbhakti kepada leluhur, yaitu sebagai berikut :

1. "Kirti ngaran paleman ring hayu” artinya selalu dipuji dan didoakan untuk mendapatkan kerahayuan.
2. "Ayusa ngaraning urip” artinya berumur panjang atau dapat dikatakan senantiasa akan selalu dalam keadaan sehat.
3. "Bhala ngaraning kesakten’ artinya sakti atau kesaktian. Sakti disini ialah dalam arti kita akan menjadi pribadi yang kuat mental / tangguh dalam menjalani hidup.
4. Yasa (jasa) akan selalu meninggalkan yang baik.  Bagi mereka yang berbhakti kepada leluhur maka akan meninggalkan jasa-jasa baik kepada keturunannya maupun masyarakat luas.

Dari keempat pahala diatas yang telah disebutkan dapat disimpulkan berbhakti kepada Leluhur adalah suatu hal yang baik. Melaksanakan atau menjalani hal yang baik maka kita pun akan mendapatkan hal yang baik. Karena hidup kita didasari oleh Karma.

Berbhakti kepada leluhur dalam rangka berbhakti kepada Tuhan sangat dianjurkan dalam kehidupan beragama Hindu. Dalam Mantra Reg Weda X.15 1 s.d. 12 dijelaskan tentang "pemujaan leluhur untuk memperkuat pemujaan kepada Tuhan". Dalam Bhagawad Gita diajarkan jika berbhakti kepada leluhur akan sampai pada leluhur, kalau berbhakti kepada dewa akan sampai pada dewa. Karena itu, berbhakti kepada pitra, dan dewa adalah dalam rangka berbhakti kepada Tuhan.

Dalam Manawa Dharmasastra ada sloka yang menyatakan, bakti kepada leluhur mendahului berbhakti kepada Tuhan. Karena bhakti sebelumnya akan memperkuat bhakti selanjutnya. Jika diambil contoh, misalnya ketika ada seorang anak yang begitu berbhakti kepada orang tuanya maka tentu si anak akan menjadi lebih berbhakti kepada Tuhan yang telah menciptkan orang tuanya.

Jadi menurut penulis berbhakti (pemujaan) kepada leluhur bukanlah disamakan dengan menduakan Tuhan akan tetapi sebaliknya, yaitu bertujuan untuk memperkuat pemujaan kepada Tuhan.  Maka harus diingat bhakti kepada Tuhanlah bhakti yang tertinggi.

Bagaimana dengan memuja Guru? Memang benar, seorang guru diidentikkan dengan dewa, karena itulah di Bali Sulinggig disebut meraga Putus yang artinya boleh memutuskan sebuah perkara yang memintai pertimbangan kepada beliau, dan hasil putusan tersebut bersifat final, ini terjadi dalam budaya bali karena Gama Bali sangat menghayati filosofi Yoga, yang juga merupakan implementasi dari Taittiriya Upanisad

Tetapi, apakah pemujaan kepada leluhur dapat digantikan hanya dengan memuja GURU saja? jawabannya adalah tidak. Memang belakangan ini, ada sekelompok umat di Bali yang sering mengaburkan arti dari Taittiriya Upanisad tersebut, konsep yoga yang mengganggap perintah guru adalah perintah dewa diangap lebih utama daripada perintah leluhur maupun orang tua. Mari kita bandingkan, sloka Taittiriya Upanisad I.11 dan Bhagawad Gita IX.25. kedua sloka tersebut lebih mengutamakan dewa dan leluhur, disusul kemudian guru dan tamu. Dilihat dari sloka tersebut, posisi leluhur lebih didahulukan daripada guru dan tamu. dan dilihat dari wujud dewa yang dimaksud dalam sloka Taittiriya Upanisad I.11 guru dan tamu, guru lebih diutamakan.

Sekarang sesuai logika, kenapa guru dan tamu dikatakan sebagai wujud dari dewa? Karena guru yang membimbing kita menjadi lebih bijaksana, dan tamu lah tempat kita menguji kebijaksanaan yang telah dipelajari dari seorang guru. Karena itulah, seorang guru dan tamu disambut bagaikan seorang dewa.

Untuk lebih memantapkan keyakinan kita, bahwa memuja leluhur sangat penting, berikut ini beberapa sloka yang berkaitan dengan hal tersebut.


ud iratam avara ut parasa un madhyamah pitarah somyasah
asum ya iyur avrka rtajnas te no 'vantu pitaro havesu
(Rg Weda X.15.1)
artinya 
Semogalah yang di bawah, paling di tengah, para leluhur pencinta Soma bangkit, semogalah para leluhur itu, yang sangat ramah (penuh persahabatan), yang mengetahui kebanaran, yang hidup dalam keabadian, menganugrahi kami sesuai dengan doa persembahan kami


idam pitrbhyo namo astv adya ye purvaso ya uparasa iyuh
ye parthive rajasy a nisatta ye va nunam suvrjanasu viksu 
(Rg Weda X.15.2)
artinya:
Semogalah dengan kebaktian yang dilaksanakan hari ini, para leluhur yang telah lama pergi dan mereka yang barn saj a meninggal, yang telah duduk di angkasa raya atau yang sekarang bertempat tinggal di tempat yang terang benderang


aham pitrn suvidatram avitsi napatam ca vikramanam ca visnoh
barhisado ye svadhaya sutasya bhajanta pitvas ta ihagamisthah
(Rg Weda X.15.3)
artinya
Kami memperoleh berlimpah anugrah dari para leluhur, kakek, dan Sang Hyang Wisnu, mereka yang duduk bertebaran, akan ikut serta dalam acara pemerasan minuman dengan persembahan kepada yang telah meninggal, datanglah kemari dengan penuh kegembiraan


barhisadah pitara uty arvag ima vo havya cakrma jusadhvam
ta a gatavasa samtamenatha nah sam yor arapo dadhata
(Rg WedaX.15.4)
artinya:
Wahai para leluhur yang duduk bertebaran, datanglah kemari dengan (membawa) pertolongan, upacara persembahan ini kami persembahkan untuk anda, semoga anda berbahagia. Datanglah dengan pertolongan bermanfaat, karuniailah kami kesehatan, rahmat dan bebaskan dari keperihan


upahutah pitarah somyaso barhisyesu nidhisu priyesu
ta a gamantu ta iha sruvantv adhi bruvantu te 'vantv asman
(Rg Weda X.15.5)
artinya
Dimohon kehadiannya para leluhur pecinta Soma untuk tempat yang tersimpan dan amat disayangi, tempat yang bertebaran, semogalah mereka (para leluhur) datang kemari, semogalah mereka mendengarkan dan berkenan untuk bercakap-cakap dan memberikan pertolongan kepada kita


acya janu daksinato nisadyema yajnam abhi grnita visve
ma himsista pitarah kena cin no yad va agah purusata karama
(Rg Weda X.15.6)
artinya:
Duduk bersila dengan kaki terlipat di arah selatan, menganugrahkan karunia yang berlimpah terhadap upacara, tidak melukai kita, wahai para leluhur, berdasarkan alasan ini, perbuatan dosa apapun yang telah kami lakukan kepada anda, wahai para leluhur, itu adalah karena kelemahan kami (sebagai umat manusia)
asinaso aruninam upasthe rayim dhatta dasuse martyaya
putrebhyah pitaras tasya vasvah pra yachata ta ihorjam dadhata
(Rg Weda X.15.7)
artinya: 
Duduk di haribaan fajar merah, memberikan kekayaan kepada penyembahnya yang fana. Untuk putra (keturunan) anda, wahai para leluhur, anugrahkanlah kekayaan itu, demikian pula anda menganugrahkan kekuatan (kepada kami)

agnisvattah pitara eha gachata sadah-sadah sadata supranitayah
atta havimsi prayatani barhisy atha rayim sarvaviram dadhatana
(Rg Weda X.15.11)
artinya: 
Wahai pan leluhur (badan anda) telah dilalap api, datanglah kemari, silakan duduk pada tempat duduk yang telah disiapkan masingsmasing, anda adalah pembimbing (kehidupan), yang menikmati persembahan yang ditaburkan bertebaran, kemudian anda menganugrahkan kekayaan diikuti oleh seluruh putra-putra yang kuat

Setelah membaca semua tulisan diatas, semoga kita sedikitnya bisa memahami pentingnya peran leluhur, mari sayangi orang tua kita yang masih berada disisi kita, dan hormati ajaran-ajaran leluhur yang telan Ndewata. Satu hal lagi Kawitan adalah salah satu dari leluhur juga, pertanyaannya "sudahkah engkau tau apa dan dimana Kawitan mu?" 😊😊😊


gambar masyarakat Bali baheula

Tulisan ini banyak disadur dari http://cakepane.blogspot.co.id dan beberapa situs web lainnya

oleh  Gede Laksana

"OM SHANTI, SHANTI, SHANTI, OM"

2 comments:

UDENG

" OM SWASTIASTU " Tata busana orang-orang Bali ketika melaksanakan suatu upacara atau kegiatan keagamaan memiliki ciri-ciri ...