Sunday 25 June 2017

UDENG

" OM SWASTIASTU "

Tata busana orang-orang Bali ketika melaksanakan suatu upacara atau kegiatan keagamaan memiliki ciri-ciri khusus yang begitu unik. Mulai dari kepala sampai kaki, busana yang mereka kenakan memiliki makna filosofi. Nah, pada kesempatan ini saya sebagai penulis ingin membahas salah satu dari pelengkap busana khususnya laki-laki Bali yang dikenal dengan istilah udeng/destar.

Udeng berasal dari kata mudeng yang berarti paham atau mengerti. Sedangkan kata destar dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti ikat kepala. 

Parisada Hindu Dharma Indonesia di singkat dengan PHDI, telah menetapkan aturan dalam penggunaan udeng. Pemakaian udeng berwarna putih wajib digunakan jika melakukan persembahyangan ke sebuah Pura, yang bertujuan untuk menciptakan kesan kejernihan dan kedamaian pikiran. Karena warna putih mengandung makna kedamaian, permohonan maaf, pencapaian diri, spiritualitas, kedewataan, kesucian, kesederhanaan, kesempurnaan, kebersihan, cahaya, dan persatuan.

Sedangkan untuk melayat orang meninggal/berkabung hendaknya memakai udeng yang berwarna hitam, karena warna hitam adalah warna yang melambangkan pengusiran sesuatu yang bersifat negatif, formalitas, misteri, ketakutan, ketidakbahagiaan, perasaan yang dalam, kesedihan, dan kemarahan. Dan terakhir, penggunaan udeng berwarna batik (selain hitam/putih), biasanya di pakai saat acara-acara sosial lainnya.

Apakah makna dari udeng itu sendiri? Udeng adalah simbol ngiket manah (memusatkan pikiran). Yang mana pikiran itu merupakan sumber penggerak panca indera yang perlu dikendalikan. Nah dari alasan inilah lantas udeng diciptakan oleh para leluhur. Hal ini dikarenakan beliau ingin senantiasa mengajarkan anak dan cucunya petuah moral dari bentuk udeng itu sendiri.

Jika kita simak dengan baik lalu direnungkan, maka kita akan menemukan makna yang tersimpan di sana. Di bawah ini, saya akan melampirkan gambar udeng dan akan menjelaskan maknanya satu-persatu.


  • Pada gambar di atas, lekuk di sisi kanan (nomer 1) dibuat lebih tinggi dari pada sisi kiri (nomer 2). Ini mempunyai makna bahwa kita diharapkan senantiasa lebih banyak melakukan hal yang baik/benar (dharma) dari pada berbuat salah/buruk (adharma) pada kehidupan ini.
  • Tarikan kain dari kiri ke kanan melambangkan Dewa Brahma (nomer 3).
  • Tarikan kain dari kanan ke kiri melambangkan Dewa Wisnu (nomer 4).
  • Pertemuan antara kedua kain kiri dan kanan (nomer 5) melambangkan Dewa Siwa.
  • Gabungan dari kedua tarikan kain menjadi satu (nomer 3 dan 4 bertemu menjadi no 5) merupakan lambang dari Tri Murti yang menegaskan sebagai satu kesatuan yang utuh.
  • Ikatan di tengah – tengah kening (nomer 6) lambang cundamani/trolocana (mata ketiga) yang bermakna pemusatan pikiran. Ini juga bermakna jnana (pengetahuan) dan kebijaksanaan. Untuk mengikat kedua ujungnya diharapkan menggunakan "simpul hidup", agar mudah di buka atau di ikat kembali. Ini sesuai dengan mata ketiga Dewa Siwa yang setiap saat bisa terbuka dan tertutup lagi.
  • Ujung dari ikatan (nomer 7) diusahakan menghadap ke atas, ini mempunyai makna filosofi bahwa pemikiran lurus ke atas dalam memuja Ida sang Hyang Widhi Wasa.
Jadi petuah tersembunyi leluhur dari pemakaian udeng tersebut adalah, kita diingatkan agar senantiasa selalu berjalan di jalan dharma, baik dalam berpikir, berkata, dan berlaksana. Senantiasa menjalankan semua perintahNya, menjauhi segala laranganNya agar nanti mampu mencapai Moksartham Jagadhita ya ca iti Dharma.
Jenis-jenis udeng dalam "makna pakaian adat ke pura" terbagi menjadi tiga, yakni:
  • Udeng Jejateran (udeng untuk persembahyangan), penjelasan tentang udeng ini telah dijelaskan diatas.
  • Udeng Dara Kepak (udeng untuk warna ksatria) masih ada bebidakan tetapi ada tambahan penutup kepala yang berarti symbol pemimpin yang selalu melindungi masyarakatnya dan pemusatan kecerdasan. Kain yang menjulur ke bawah memiliki makna agar senantiasa memperhatikan kehidupan rakyat bawah dan selalu berprilaku sabar dan rendah diri. Udeng ini sering dipakai oleh A.A Rai Kalam dalam pementasan Drama Gong.
  • Udeng Beblatukan (udeng khusus pemangku) tidak ada bebidakan, hanya ada penutup kepala dan simpulnya berada di belakang, yang bermakna seorang pemangku hendaknya selalu mendahulukan kepentingan umum dari pada kepentingan pribadi, dan juga ini berarti sabda, bayu, idep sudah selaras dan semua nafsu sudah mampu ditundukan. Ujung ikatan yang menghadap ke bawah berarti senantiasa seperti ilmu padi dan selalu bersikap sabar. Kedua sisi dari udeng pemangku yang sama, menyimbulkan ketidakterikatan akan baik maupun buruk (sudah mampu mengatasi kebaikan dan kejahatan). 
Jadi simbol-simbol yang ada pada tiap udeng diatas, bukanlah sebuah perbedaan yang membuat umatnya berbeda, namun itu merupakan simbolis bahwa seorang pemangku sudah selayaknya mampu menguasai sifat-sifat buruknya, dan kita sebagai orang umum (walaka) hendaknya berupaya juga menguasai semua sifat-sifat buruk yang ada dalam diri sesuai dengan makna udeng yang dikenakan.

Terakhir, apakah simbol ngiket manah (memusatkan pikiran) bagi kaum wanita? Simbol pengiket manah ini ditunjukkan dengan rambut wanita yang dipusung (di sanggul) dibelakang kepala saat pergi ke tempat suci. Namun pada zaman sekarang ini, sudah jarang penulis lihat para wanita menyanggul rambutnya saat ke Pura, mungkin karena tidak tahu maknanya, terlalu ribet, malas, ataupun karena memang mengikuti style kekinian. Sehingga ajaran-ajaran leluhur yang penuh filosofi pun akhirnya makin tergerus oleh zaman.

 
Semoga dengan artikel ini dapat bermanfaat untuk semeton sedharma. Jikalau terdapat penjelasan yang kurang lengkap atau kurang tepat. Mohon dikoreksi bersama.



*Penjelasan pada tulisan ini sadur dari beberapa sumber

oleh Gede Laksana

" OM SHANTI, SHANTI, SHANTI, OM "

2 comments:

UDENG

" OM SWASTIASTU " Tata busana orang-orang Bali ketika melaksanakan suatu upacara atau kegiatan keagamaan memiliki ciri-ciri ...