Sunday, 30 April 2017

BENARKAH CARA INI UNTUK MELATIH DASAR MEDITASI?

" OM SWASTIASTU"

Sebelum saya melanjutkan tulisan ini, saya informasikan, bahwa saya selaku penulis tak tahu apa-apa tentang meditasi apalagi menekuninya, jadi sebisa mungkin jadikan tulisan ini hanya sebuah bacaan untuk mengisi waktu senggang anda.
Sering kita mendengar tentang kata "meditasi", sehingga kata ini sangat familiar bagi kebanyakan orang. Tapi selidik punya selidik ternyata tidak semua orang mengerti apa sih meditasi itu. Sebelum melangkah lebih jauh, mari kita ketahui dulu  apa sih pengertian dari meditasi tersebut.
Meditasi atau sering juga disebut semadi, merupakan suatu praktik relaksasi dengan jalan pelepasan pikiran dari buah pikiran yang membebani, menyenangkan, ataupun mencemaskan dalam hidup kita sehari-hari. Makna harfiah atau leksikalnya adalah suatu kegiatan mengunyah-unyah atau membolak-balik dalam pikiran, memikirkan, dan merenungkan. Nah kalau definisidari meditasi adalah kegiatan mental terstruktur, yang dilakukan selama jangka waktu tertentu, untuk menganalisis, menarik sebuah kesimpulan, lalu mengambil langkah-langkah lebih lanjut untuk menyikapi, menentukan tindakan atau penyelesaian masalah pribadi, hidup, dan prilaku.
Dengan kata lain, meditasi itu membantu melepaskan kita dari penderitaan pemikiran baik dan buruk dari kaca mata sendiri, yang senantiasa melekat terhadap pikiran dan penilaian tertentu. Kita mulai paham bahwa hidup merupakan serangkaian pemikiran, penilaian, dan pelepasan subjektif yang tiada habisnya, yang secara perlahan dengan hati sebagai medianya akan mulai kita lepaskan. Dengan meditasi, kita akan belajar membebaskan kinerja otak akan aktivitas rutinnya tuk berpikir, ternyata kita menyadari manusia tidak mati walau tak berpikir, serta tidak juga akan pingsan, dan tetap tersadar. Nah disinilah meditasi nanti akan mempunyai daya tarik sendiri bagi si pelaku. 
Siapa guru terbaik untuk meditasi? Jawabnya adalah pengalaman. Tiap-tiap orang bebas menilai tentang arti meditasi bagi diri dan kehidupannya. Maka dari itu dengan mempraktikkan meditasi dalam hidup, suatu saat nanti orang akan menyadari dan mampu merasakan manfaat dari suatu perjalanan meditasi. Beberapa manfaat dari meditasi menurut penulis yaitu;
1. Jalan untuk masuk dalam kesadaran jiwa.
2. Jalan untuk introspeksi diri.
3. Jalan untuk berkomunikasi dengan sang pencipta.
4. Jalan untuk mengubah hidup.
5. Jalan untuk meraih ketenangan batin.
Langkah-langkah dasar bagi pemula meditasi adalah belajar tentang napas. Pernapasan dalam meditasi sangatlah penting untuk dikuasai, untuk menunjang meditasi-meditasi sulit lainnya pada tingkat lebih lanjut. 
Kini saya akan coba berikan tehnik pernapasan dalam sebuah meditasi dasar. Meditasi pada tingkat ini bertujuan supaya tubuh, intinya adalah pikiran kita nantinya memperoleh prana energi yang cukup pada saat bermeditasi. Ini semua dikarenakan saat meditasi pikiran kita akan sangat boros dengan prana energi, yang mana saat meditasi pikiran digunakan untuk mengamati, memperhatikan, berkonsentrasi atau memvisualkan objek, dan kesemuanya itu sangat membutuhkan energi. Sehingga ketika selesai meditasi energi kita tidak menjadi terkuras.
Prana energi pada napas dibutuhkan ketika pikiran mulai memantap lalu berhasil memegang objek yang dilihat, sehingga objek yang dimeditasikan itu akan jelas dan stabil tervisualkan. Jika pernapasan seorang yang bermeditasi kurang lembut serta halus, maka ini akan mempengaruhi kualitas obyek yang dimeditasikan. Contoh ketika proses meditasi berlangsung, seseorang membayangkan wujud dewa, bentuk dewa itu akan terlihat begitu jelas karena halusnya jalan pernapasan, namun bila napas masih kasar atau belum terlatih tiap tarikan ataupun hembusan napasnya, maka perhatian teralih sejenak ke napas itu dan akan menghilangkan atau menggoyahkan imajinasi yang telah kita visualkan, bayangan  dewa pun akan hilang dan kita akan kembali ke awal.
Pernapasan dalam meditasi ini, kita akan berusaha hanya memperhatikan keluar masuknya aliran pernafasan dan jaga pernafasan anda tetap normal apa adanya tanpa ada keinginan mengendalikan napas.
1) Ambil sikap duduk senyaman mungkin, pandangan diarahkan lurus ke depan dan hirup segarnya udara yang ada, dan mulai arahkan pikiran kita untuk mengingat napas yang sedang dirasakan.
2) Pejamkan mata perlahan, perhatian kita diarahkan untuk merasakan aliran napas yang masuk ataupun yang keluar melalui hidung.
3) Mulai menghitung napas kita, bernapaslah secara normal hirup dan keluarkan, ketika udara dihembuskan keluar mulai untuk menghitung 1, rasakan lagi napas yang masuk, ketika napas keluar lagi maka hitung 2, nafas masuk dan keluar anggap satu hitungan. Tetaplah memperhatikan dan menghitung pernapasan anda sampai minimal 11 hitungan. (hitungan cukup dalam hati)
4) Sekarang pindahkan perhatian kita, dari merasakan aliran napas di hidung kini menuju ke perut. Kembali bernapas normal sesantai mungkin tanpa ada niat mengendalikannya. Tiap tarikan napas rasakan perut mengempis dan ketika mengeluarkan napas rasakan perut mengembung. Hitungan kembali dilakukan hanya ketika perut mengembung hitunglah 1, rasakan nafas masuk dan perut mengempis lalu rasakan pula perut mengembung hitung 2, demikian seterusnya sampai minimal 11 hitungan. Ingat seluruh perhatian hanya diarahkan untuk merasakan kembang kempisnya perut anda.
5) Sesi terakhir dari meditasi ini yaitu ketika napas dihirup ingat dan rasakan tubuh atau diri kita, lalu ketika menghembuskan napas ingat alam diluar kita dan hitung 1, dan begitu seterusnya sampai 7 hitungan.
6) Sebelum mengakhiri meditasi, sambil menghitung 1 tarik napas sedalam-dalamnya sampai dada dan perut terasa penuh, hitungan 2 tahan napas yang telah dihirup sekuatnya, dan 3 keluarkan napas perlahan, lakukanlah sebanyak 3 kali, dan meditasi pun bisa diselesaikan.
Nah lakukan ini berulang2 setiap saat, tanpa ada gangguan, dimana badan anda nantinya telah membiasakan diri dengan teknik bernapas dalam meditasi ini, nanti saya akan lanjutkan ke meditasi cara menyadari napas itu sendiri.
Jika ada salah kata dan kalimat, serta salah cara penyampaian, mohon maaf sebesar-besarnya. Karena sejatinya penulis adalah orang awan tentang meditasi, maka dari itu mohon saudara-saudara yang sudah ahli di bidang ini, berkenan  menambahkan kekurangan-kekurangan tulisan saya. Buat para pemula seperti saya jangan patah semangat, mari tetap berusaha dengan sebaik-baiknya.



oleh  Gede Laksana

" OM SHANTI, SHANTI, SHANTI, OM "

BENARKAH BERBAKTI KEPADA LELUHUR ITU KELIRU ?

" OM SWASTIASTU "


Sebelum kita melanjutkan ke isi pokok dari tulisan ini, ada baiknya kita menyimak terlebih dahulu sekelumit percakapan antara Yaksa (Dewa Yama/Dharma yang sedang menyamar) dengan Yudistira/Dharmawangsa (putra dari Dewa Yama sendiri), yang sudah saya seleksi agar adanya keterkaitan dengan isi tulisan ini.
Yaksa : apa yang lebih tinggi dari langit?
Yudhistira : Yang lebih tinggi dari langit adalah seorang ayah/bapak.
Yaksa: "Apa yang lebih berat dari bumi?
Yudistira : Yang lebih berat dari bumi adalah seorang Ibu.
Yaksa : "Apakah yang lebih mulia dan lebih menghidupi manusia daripada bumi ini?
Yudistira : "Ibu, yang melahirkan dan membesarkan anak-anaknya, lebih mulia dan memberikan kehidupan lebih besar daripada bumi ini.
Nah para pembaca, dari percakapan diatas kita bisa menyimak pesan-pesan apa yang sebenarnya ingin disampaikan kepada kita. Inti dari pesan diatas, bahwa begitu mulianya kedudukan leluhur itu (leluhur adalah sebutan yang normalnya dikaitkan kepada orang tua maupun orang tua leluhur seperti kakek, nenek, canggah, dan seterusnya dalam keberadaan kita disini). Tanpa adanya mereka tentulah kita tidak akan ada di dunia ini.
Itulah mengapa orang Hindu menempatkan orang tua sebagai Tuhan Sekala dan senantiasa berbakti kepada para Leluhurnya. Mari kita simak salah satu sloka dalam kitab Taittiriya Upanisad yang berbunyi “Pitri deva bhava, matri deva bhava”. (Vana Parva 27.21) yang berarti bahwa "ayah dan ibu termasuk sebagai Guru, di samping Agni, Atman, dan Rsi". Atau jika disimpulkan pengertiannya akan sama dengan Ayah adalah perwujudan Tuhan, demikian juga Ibu adalah perwujudan Tuhan.
Dalam kekawin Nitisastra VIII.3 disebutkan tentang Panca Vida, yang berarti lima hal yang menyebabkan anak harus berbakti kepada orang tua, antara lain yaitu
1. Sang Ametwaken yang bermakna bahwa karena pertemuan (hubungan suami/ istri) ayah dan ibulah maka lahirlah anak-anak dari kandungan ibu. Perjalanan hidup ayah dan ibu sejak kecil hingga dewasa, kemudian menempuh kehidupan Grahasta, sampai mengandung bayi dan selanjutnya melahirkan, dipenuhi dengan pengorbanan-pengorbanan.
2. Sang Nitya Maweh Bhinojana yang bermakna bahwa ayah dan ibu selalu mengusahakan memberi makan kepada anak-anaknya. Bahkan tidak jarang dalam keadaan kesulitan ekonomi, ayah dan ibu rela berkorban tidak makan, namun mendahulukan anak-anaknya mendapat makanan yang layak. Ibu memberi air susu kepada anaknya, cairan yang keluar dari tubuhnya sendiri.
3. Sang Mangu Padyaya yang bermakna bahwa ayah dan ibu menjadi pendidik dan pengajar utama. Sejak dari kecil kita telah diajari menyuap nasi, merangkak, berdiri, berbicara, sampai menyekolahkan. Pendidikan dan pengajaran oleh ayah dan ibu ini merupakan dasar pengetahuan bagi kesejahteraan anak-anaknya di kemudian hari.
4. Sang Anyangaskara yang bermakna bahwa ayah dan ibu melakukan upacara-upacara manusa yadnya bagi anak-anaknya dengan tujuan men-sucikan atma dan stula sarira. Upacara-upacara itu dimulai sejak bayi dalam kandungan sampai lahir, besar dan dewasa: Magedong-gedongan, Embas rare, Kepus udel, Tutug Kambuhan, Telu bulanan, Otonan, Menek kelih, Mepandes, Pawiwahan.
5. Sang Matulung Urip Rikalaning Bayayang yang bermakna bahwa ayah dan ibulah pembela anak-anaknya bila menghadapi bahaya, menghindarkan serangan penyakit dan menyelamatkan nyawa anak-anaknya dari bahaya lainnya.
Nah ketika para pembaca telah usai membaca dan memahami isi tulisan diatas, maka saya yakin para pembaca mulai mengerti, dan mungkin saja akan ada sebuah pertanyaan seperti "Seberapa besarkah peran leluhur kepada kita?". Jawabannya adalah tak terhingga. Terus akan ada sebuah pertanyaan terlontarkan lagi, "Bisakah kita melunasi dan membalas hutang kita kepada Beliau?". Jawabannya adalah hutang kita kepada leluhur tentu tak kan pernah terlunasi walau apapun yang kita lakukan untuk Beliau, tapi kita tetap bisa membalas kebaikan mereka dengan jalan berbicara kepada kedua orang tua itu harus dengan sopan, santun dan lembut, taat kepada semua perintah orang tua, berusaha sekuat tenaga untuk menjaga nama baik orang tua, ringankanlah beban mereka, janganlah berbohong kepada kedua orang tua, jangan mengutamakan istri dan anak-anak daripada orang tua, dan masih banyak hal-hal baik yang bisa kita lakukan untuk mereka.

Terus bagaimana jika leluhur kita telah meninggal? Yuk simak tulisan dibawah ini sebentar.

Saya lihat belakangan ini semeton Hindu di Bali sedikit dibingungkan pada sebuah penafsiran yang mungkin kurang pas tentang Bhakti Marga, dimana saya pernah mendengar selentingan bahwa umat Hindu di Bali yang menjalani tradisi Gama Bali atau Gama Tirta kurang paham sehingga kurang mengikuti ajaran Weda sesuai aslinya. ini dikarenakan penafsiran sloka pada Bhagawad Gita oleh beberapa orang yang mengikuti ajaran sampradaya. Bagi mereka memuja leluhur itu kurang tepat, karena yang lebih tepat adalah memuja Tuhan. 

Mungkin saja dalam anggapan mereka, krama Bali yang meneruskan tradisi Gama Bali "kurang paham ajar­an agama" atau sebutan lainnya. Maka dari itu, menghindari persepsi yang keliru tentang penafsiran sloka Bhagawad Gita, mari kita sama-sama menafsirkannya. Berikut ini petikan sloka bhagawad gita yang ditafsirkan sebagai hukum pembenaran yang menyatakan pemujaan kepada leluhur oleh krama Hindu Bali tersebut kurang tepat


yanti deva-vrata devan
pitrn yanti pitr-vratah
bhutani yanti bhutejya
yanti mad-yajino 'pi mam
(BG IX.25)

yang sering diartikan; “Yang memuja dewata pergi ke­pada dewata, kepada leluhur perginya yang memuja leluhur me­reka, dan kepada roh alam perginya yang memuja roh alam, te­tapi mereka yang memuja-Ku, datang kepada-Ku.”

Ketiga bentuk pemujaan ini, baik kepada dewa-dewa, leluhur, maupun roh suci yang ada di alam, semuanya mendapatkan pahala. Semuanya bisa dibenarkan, namun Sri Krisna mengajarkan jika umat memuja Tuhan secara langsung, itulah yang terbaik

Pertanyaannya "Yang bagaimana disebut dengan memuja Tuhan secara langsung? Bukankah Tuhan memiliki ribuan sinar? Yang dalam ajaran Reg Weda, sinar suci Tuhan ada 33 ? Dan dari 33 tersebut, yang manakah Tuhan? Bukankah Tuhan ada disetiap ciptaanNya?

Mungkin beberapa orang ada yang lupa dengan sloka Bhagawad Gita yang isinya seperti berikut ini; 


yo yo yam yam tanum bhaktah
sraddhayarcitum icchati
tasya tasyacalam sraddham
tam eva vidadhamy aham
(BG VII.21)

yang berarti : "apa­pun bentuk kepercayaan yang ingin dipeluk oleh penganut aga­ma, Aku perlakukan kepercayaan mereka sama supaya tetap te­guh dan sejahtera”.

Sloka ini adalah kelanjutan dari sebuah penjelasan bagai­mana jika umat menyelengarakan ritual untuk memuja dewa­ta. Di sini jelas disebutkan bahwa perbedaan dalam melakukan pe­mujaan itu hasilnya sama saja menuju Aku (Tuhan Yang Esa).

Nah kembali ke pemujaan leluhur, dimana oleh krama Hindu di Bali pemujaan tersebut biasanya dicirikan dengan adanya bangunan Sanggah Kemulan, Dewa Hyang, Pelinggih Pitra/Pelinggih Ibu/Paibon. Disamping itu ciri pemujaan leluhur yang sangat melekat pada krama Hindu penganut ajaran Gama Bali adalah dengan adanya kawitan, melalui Pura Kawitan.

Benarkah, pemujaan tersebut salah? Adakah dasar sastra yang membenarkan adanya jalan bhakti lewat pemujaan leluhur? 

Untuk itu mari cermati hal ini, krama/orang Bali mengawali pemujaan leluhur karena beberapa hal, pertama adanya sloka dalam Upanisad, dan yang kedua adanya contoh dari Itihasa. Dasar sloka suci Taittiriya Upanisad yang menjadi acuan dalam pemujaan kepada leluhur adalah

"matrdevo bhava pitrdevobhava, acaryadevo bhava atithidevo bhava" (Taittiriya Up.I.11)

yang artinya: "Seorang ibu adalah dewa, seorang bapak adalah dewa, seorang guru adalah juga dewa dan para tamu pun adalah dewa"

Dari sloka diatas, dapat dilihat bahwa orang tua, orang yang menyebabkan kita lahir adalah dewa yang hendaknya kita puja dan hormati. atas jasa-jasa beliau kita bisa hadir didunia ini, karena itu setiap manusia memiliki kewajiban untuk mengingat hal tersebut, yang kemudian dikenal dengan sebutan Pitra Rna, yaitu hutang atau kewajiban yang harus dijalankan untuk mengenang jasa-jasa orang tua kita beserta orang yang telah mengadakan/melahirkan orang tua kita atau leluhur.

Untuk "membayar hutang" (Pitra Rna) kepada orang tua kita terdapat 3 jalan, diantaranya:

1. Semasa hidup dilakukan Manusa Yadnya. Manusa Yadnya disini maksudnya dimana seorang anak/cucu selalu hormat dan melayani orang tua beserta keluarga, dimana orang tua tinggal dan saudara keluarga tempat orang tua kita dilahirkan.

2. Saat meninggal dunia dilakukan Pitra Yadnya. Pitra yadnya dilakuan, mulai dari semenjak meninggal hingga beliau disemayamkan dalam tempat suci keluarga, dan ritual terakhirnya adalah Yadnya Panilapatian yang maknanya mengangkat status leluhur menjadi Hyang Guru, sehingga beliau dapat berstana di linggih Kemulan.
3. Dan bukti besarnya ikatan cinta kepada keluarga, dilakukanlah Dewa Yadnya. Dewa Yadnya disini maksudnya, setelah leluhur menjadi hyang guru, kita anak cucu keturunannya senantiasa mengingat keberadaan beliau dengan melakukan yadnya piodalan yang artinya merayakan untuk memperingati pertama kalinya dilaksanakan dewa yadnya untuk sanggah kemulan tersebut.

Dari sebelum kita lahir kita sudah diupacarai kemudian setelah lahir, beranjak remaja hingga akhirnya menikah juga diupacarai. Mereka sangat berperan dalam kehidupan kita. Itulah mengapa dikatakan mulai dari Orang Tua hingga keatasnya wajib untuk kita selalu berbhakti baik ketika masih hidup ataupun sudah wafat.

Dalam Kitab Sarasamuccaya, disebutkan ada empat pahala bagi mereka yang berbhakti kepada leluhur, yaitu sebagai berikut :

1. "Kirti ngaran paleman ring hayu” artinya selalu dipuji dan didoakan untuk mendapatkan kerahayuan.
2. "Ayusa ngaraning urip” artinya berumur panjang atau dapat dikatakan senantiasa akan selalu dalam keadaan sehat.
3. "Bhala ngaraning kesakten’ artinya sakti atau kesaktian. Sakti disini ialah dalam arti kita akan menjadi pribadi yang kuat mental / tangguh dalam menjalani hidup.
4. Yasa (jasa) akan selalu meninggalkan yang baik.  Bagi mereka yang berbhakti kepada leluhur maka akan meninggalkan jasa-jasa baik kepada keturunannya maupun masyarakat luas.

Dari keempat pahala diatas yang telah disebutkan dapat disimpulkan berbhakti kepada Leluhur adalah suatu hal yang baik. Melaksanakan atau menjalani hal yang baik maka kita pun akan mendapatkan hal yang baik. Karena hidup kita didasari oleh Karma.

Berbhakti kepada leluhur dalam rangka berbhakti kepada Tuhan sangat dianjurkan dalam kehidupan beragama Hindu. Dalam Mantra Reg Weda X.15 1 s.d. 12 dijelaskan tentang "pemujaan leluhur untuk memperkuat pemujaan kepada Tuhan". Dalam Bhagawad Gita diajarkan jika berbhakti kepada leluhur akan sampai pada leluhur, kalau berbhakti kepada dewa akan sampai pada dewa. Karena itu, berbhakti kepada pitra, dan dewa adalah dalam rangka berbhakti kepada Tuhan.

Dalam Manawa Dharmasastra ada sloka yang menyatakan, bakti kepada leluhur mendahului berbhakti kepada Tuhan. Karena bhakti sebelumnya akan memperkuat bhakti selanjutnya. Jika diambil contoh, misalnya ketika ada seorang anak yang begitu berbhakti kepada orang tuanya maka tentu si anak akan menjadi lebih berbhakti kepada Tuhan yang telah menciptkan orang tuanya.

Jadi menurut penulis berbhakti (pemujaan) kepada leluhur bukanlah disamakan dengan menduakan Tuhan akan tetapi sebaliknya, yaitu bertujuan untuk memperkuat pemujaan kepada Tuhan.  Maka harus diingat bhakti kepada Tuhanlah bhakti yang tertinggi.

Bagaimana dengan memuja Guru? Memang benar, seorang guru diidentikkan dengan dewa, karena itulah di Bali Sulinggig disebut meraga Putus yang artinya boleh memutuskan sebuah perkara yang memintai pertimbangan kepada beliau, dan hasil putusan tersebut bersifat final, ini terjadi dalam budaya bali karena Gama Bali sangat menghayati filosofi Yoga, yang juga merupakan implementasi dari Taittiriya Upanisad

Tetapi, apakah pemujaan kepada leluhur dapat digantikan hanya dengan memuja GURU saja? jawabannya adalah tidak. Memang belakangan ini, ada sekelompok umat di Bali yang sering mengaburkan arti dari Taittiriya Upanisad tersebut, konsep yoga yang mengganggap perintah guru adalah perintah dewa diangap lebih utama daripada perintah leluhur maupun orang tua. Mari kita bandingkan, sloka Taittiriya Upanisad I.11 dan Bhagawad Gita IX.25. kedua sloka tersebut lebih mengutamakan dewa dan leluhur, disusul kemudian guru dan tamu. Dilihat dari sloka tersebut, posisi leluhur lebih didahulukan daripada guru dan tamu. dan dilihat dari wujud dewa yang dimaksud dalam sloka Taittiriya Upanisad I.11 guru dan tamu, guru lebih diutamakan.

Sekarang sesuai logika, kenapa guru dan tamu dikatakan sebagai wujud dari dewa? Karena guru yang membimbing kita menjadi lebih bijaksana, dan tamu lah tempat kita menguji kebijaksanaan yang telah dipelajari dari seorang guru. Karena itulah, seorang guru dan tamu disambut bagaikan seorang dewa.

Untuk lebih memantapkan keyakinan kita, bahwa memuja leluhur sangat penting, berikut ini beberapa sloka yang berkaitan dengan hal tersebut.


ud iratam avara ut parasa un madhyamah pitarah somyasah
asum ya iyur avrka rtajnas te no 'vantu pitaro havesu
(Rg Weda X.15.1)
artinya 
Semogalah yang di bawah, paling di tengah, para leluhur pencinta Soma bangkit, semogalah para leluhur itu, yang sangat ramah (penuh persahabatan), yang mengetahui kebanaran, yang hidup dalam keabadian, menganugrahi kami sesuai dengan doa persembahan kami


idam pitrbhyo namo astv adya ye purvaso ya uparasa iyuh
ye parthive rajasy a nisatta ye va nunam suvrjanasu viksu 
(Rg Weda X.15.2)
artinya:
Semogalah dengan kebaktian yang dilaksanakan hari ini, para leluhur yang telah lama pergi dan mereka yang barn saj a meninggal, yang telah duduk di angkasa raya atau yang sekarang bertempat tinggal di tempat yang terang benderang


aham pitrn suvidatram avitsi napatam ca vikramanam ca visnoh
barhisado ye svadhaya sutasya bhajanta pitvas ta ihagamisthah
(Rg Weda X.15.3)
artinya
Kami memperoleh berlimpah anugrah dari para leluhur, kakek, dan Sang Hyang Wisnu, mereka yang duduk bertebaran, akan ikut serta dalam acara pemerasan minuman dengan persembahan kepada yang telah meninggal, datanglah kemari dengan penuh kegembiraan


barhisadah pitara uty arvag ima vo havya cakrma jusadhvam
ta a gatavasa samtamenatha nah sam yor arapo dadhata
(Rg WedaX.15.4)
artinya:
Wahai para leluhur yang duduk bertebaran, datanglah kemari dengan (membawa) pertolongan, upacara persembahan ini kami persembahkan untuk anda, semoga anda berbahagia. Datanglah dengan pertolongan bermanfaat, karuniailah kami kesehatan, rahmat dan bebaskan dari keperihan


upahutah pitarah somyaso barhisyesu nidhisu priyesu
ta a gamantu ta iha sruvantv adhi bruvantu te 'vantv asman
(Rg Weda X.15.5)
artinya
Dimohon kehadiannya para leluhur pecinta Soma untuk tempat yang tersimpan dan amat disayangi, tempat yang bertebaran, semogalah mereka (para leluhur) datang kemari, semogalah mereka mendengarkan dan berkenan untuk bercakap-cakap dan memberikan pertolongan kepada kita


acya janu daksinato nisadyema yajnam abhi grnita visve
ma himsista pitarah kena cin no yad va agah purusata karama
(Rg Weda X.15.6)
artinya:
Duduk bersila dengan kaki terlipat di arah selatan, menganugrahkan karunia yang berlimpah terhadap upacara, tidak melukai kita, wahai para leluhur, berdasarkan alasan ini, perbuatan dosa apapun yang telah kami lakukan kepada anda, wahai para leluhur, itu adalah karena kelemahan kami (sebagai umat manusia)
asinaso aruninam upasthe rayim dhatta dasuse martyaya
putrebhyah pitaras tasya vasvah pra yachata ta ihorjam dadhata
(Rg Weda X.15.7)
artinya: 
Duduk di haribaan fajar merah, memberikan kekayaan kepada penyembahnya yang fana. Untuk putra (keturunan) anda, wahai para leluhur, anugrahkanlah kekayaan itu, demikian pula anda menganugrahkan kekuatan (kepada kami)

agnisvattah pitara eha gachata sadah-sadah sadata supranitayah
atta havimsi prayatani barhisy atha rayim sarvaviram dadhatana
(Rg Weda X.15.11)
artinya: 
Wahai pan leluhur (badan anda) telah dilalap api, datanglah kemari, silakan duduk pada tempat duduk yang telah disiapkan masingsmasing, anda adalah pembimbing (kehidupan), yang menikmati persembahan yang ditaburkan bertebaran, kemudian anda menganugrahkan kekayaan diikuti oleh seluruh putra-putra yang kuat

Setelah membaca semua tulisan diatas, semoga kita sedikitnya bisa memahami pentingnya peran leluhur, mari sayangi orang tua kita yang masih berada disisi kita, dan hormati ajaran-ajaran leluhur yang telan Ndewata. Satu hal lagi Kawitan adalah salah satu dari leluhur juga, pertanyaannya "sudahkah engkau tau apa dan dimana Kawitan mu?" 😊😊😊


gambar masyarakat Bali baheula

Tulisan ini banyak disadur dari http://cakepane.blogspot.co.id dan beberapa situs web lainnya

oleh  Gede Laksana

"OM SHANTI, SHANTI, SHANTI, OM"

Saturday, 29 April 2017

STHANA-NYA DEWA SAMBHU MENURUT NAWA SANGA

"OM SWASTIASTU"

Dewata Nawa Sanga adalah sembilan dewata penguasa pada setiap penjuru mata angin, ini tertera dalam konsep agama Hindu di Bali. Sembilan penguasa tersebut merupakan Dewa Siwa yang dikelilingi oleh delapan aspeknya. Diagram Matahari yang bergambar Dewata Nawa Sanga ini, ditemukan dalam Surya Majapahit yang merupakan lambang kerajaan Majapahit sendiri. 

Nah, yang ingin saya bahas kali ini tentang Dewa Sambhu. Isi D
iagram Matahari bergambar Dewata Nawa Sanga menjelaskan bahwa dalam lambang ini Dewa Sambhu merupakan penguasa arah timur laut (Ersania), yang bersenjatakan Trisula, wahananya (kendaraan) adalah Wilmana (dalam bahasa Bali berarti raksasa bersayap, sedang dalam kesusasteraan India Kuno Wilmana adalah sebuah benda bundar yang bisa terbang) Shakti dari Dewa Sambhu ialah Dewi Mahadewi, aksara suciNya "WA", dilambangkan dengan warna biru, dan di Bali Beliau di puja di Pura Besakih.



gambar Pura Besakih

Adakah orang Bali yang belum mengenal pura ini? Sepertinya semua pasti tahu kan, kalau begitu yuk kita bahas ulang agar lebih mengenal tentang Pura Besakih. Pura terbesar di Bali ini terletak di Desa Besakih, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem. Komplek Pura Besakih terdiri dari 1 Pura Pusat (Pura Penataran Agung Besakih) dan 18 Pura Pendamping (1 Pura Basukian dan 17 Pura Lainnya). Di Pura Basukian, di areal inilah pertama kalinya tempat diterimanya wahyu Tuhan oleh Hyang Rsi Markendya, cikal bakal Agama Hindu Dharma sekarang di Bali, sebagai pusatnya. Pura Besakih merupakan pusat kegiatan dari seluruh Pura yang ada di Bali. Di antara semua pura-pura yang termasuk dalam kompleks Pura Besakih, Pura Penataran Agung adalah pura yang terbesar, terbanyak bangunan-bangunan pelinggihnya, terbanyak jenis upakaranya dan merupakan pusat dan semua pura yang ada di komplek Pura Besakih. Di Pura Penataran Agung terdapat 3 arca atau candi utama simbol stana dari sifat Tuhan Tri Murti, yaitu Dewa Brahma, Dewa Wisnu, dan Dewa Siwa yang merupakan perlambang Dewa Pencipta, Dewa Pemelihara dan Dewa Pelebur. Di dalam Raja Purana Besakih dikatakan bahwa Pura Penataran Agung Besakih merupakan tempat Pesamuaning Bhatara Kabeh. Maka dari itu Pura Besakih masuk dalam daftar pengusulan Situs Warisan Dunia UNDESCO sejak tahun 1995.

Kebanyakan orang menyangka Pura Besakih itu hanya Pura Penataran Agung saja, padahal masih banyak lagi pura pura disekitar Pura Penataran Agung yang menjadi penyiwiannya, seperti Pura-pura Pedarman, dan kahyangan-kahyangan lain. Pujawali di Pura Penataran Agung jatuh pada hari Purnamaning Kapat, sedang aci lainnya ialah Bhatara Turun Kabeh setiap hari purnama kedasa, Tawur Panca Wali Krama dilaksanakan tiap sepuluh tahun sekali, dan Eka Dasa Rudra dilaksanakan tiap 100 tahun Caka sekali. Pura Penataran Agung terdiri dan 7 mandala yang melambangkan Sapta Loka atau tujuh lapisan alam, di tiap-tiap petak terdapat bangunan pelinggih. 

Nama-nama Pedarman dimulai dari urutan pertama setelah Pura Basukihan adalah :
1.  Pedarman Pasek
2.  Pedarman Kaba-kaba
3.  Pedarman I Gusti Ngurah Mengwi
4.  Pedarman Pungakan Bangbang
5.  Pedarman Kubontubuh
6.  Pedarman Sukawati
7.  Pedarman Sukahet
8.  Pedarman Badung
9.  Pedarman Bujangga Wisnawa
10.Pedarman Telabah
11.Pedarman Telabah Apit Yeh
12.Pedarman Ida Dalem Klungkung
13.Pedarman Blahbatuh

Pura-pura lain yang masuk dalam komplek Pura besakih adalah :
1.  Pura Pesimpangan. 
Dari Pura Dalem Puri ke timur dan membelok lagi ke selatan yaitu di sebelah timur jalan raya, di tempat yang agak terpencil, terletak Pura Pesimpangan. Piodalannya pada hari Anggara Kliwon Julungwangi, pura ini merupakan tempat pesimpangan (singgah) sejenak bila kembali melasti dari Segara Kelotok Klungkung.

2.  Pura Dalem Puri
Pura ini terletak paling selatan dari Pura Penataran Agung, yaitu di sebelah barat sungai. Untuk mencapainya kita harus berjalan kaki kira-kira 300 meter ke utara dan kemudian membelok ke barat di suatu tempat yang agak terpencil. Di pura ini distanakan Dewi Durga yang dahulu dinamai Pura Dalem Kedewatan Piodalan di pura ini pada hari Buda Kliwon Ugu, sedang setiap tahun pada sasih Kapitu penanggal 1, 3, atau 5 diselenggarakan upakara Yadnya Ngusaba Kepitu.




gambar Pura Dalem Puri

3.  Pura Manik Mas
Pura ini merupakan Kahyangan Dewi Pertiwi (Penguasa Daratan/Ibu Pertiwi) atau disebut juga Sang Hyang Giriputri (ShaktiNya Dewa Siwa). Piodalannya pada hari Saniscara Kliwon Wariga (Tumpek Uduh). Di tempat ini seharusnya umat sembahyang dengan mempersembahkan haturan sepatutnya, sebelum ia ke Pura Penataran Agung Besakih. Dimaksudkan agar baik jasmani dan rohani disucikan secara niskala sebelum menyelenggarakan suatu upakara yadnya, baik di Pura Penataran Agung maupun di pura-pura sekitarnya.



gambar Pura Manik Mas

4.  Pura Bangun Sakti
Letaknya disebelah timur jalan raya, di mana distanakan Triantabhoga yaitu Hyang Naga BasukihHyang Naga Sesa dan Hyang NagaTaksakaPiodalannya pada hari Buda Pon Watugunung. Di samping itu setiap waktu tertentu diselenggarakan aci Pengangon dan Ngusaba Posya pada hari tilem sasih keenem. Di pura inilah konon Danghyang Manik Angkeran dihidupkan kembali setelah wafat akibat kesalahannya kepada Hyang Naga Basukih.



gambar Pura Bangun Sakti

5.  Pura Ulun Kulkul
Di sebelah barat jalan terletak Pura Ulun Kulkul di mana Hyang Mahadewa distanakan. Sebuah kulkul (kentongan besar) terdapat di pura ini, dan dipandang sebagai kulkul yang paling utama dan mulia dari pada semua kulkul yang ada di Bali. Di zaman dahulu setiap desa atau banjar membuat kulkulkulkul itu harus dipelaspas dan dimohonkan tirta di Pura Ulun Kulkul, agar atas asung wara nugraha Ida Sang Hyang Widhi Wasa, kulkul itu mempunyai taksu, yaitu ditaati oleh krama desa atau krama pemaksan pura yang akan memakai kulkul tersebut. Piodalan di pura ini jatuh pada hari Saniscara kliwon Kuningan atau tepat pada hari Raya Kuningan. Sedang setiap tilem ketiga diadakan upakara Aci Pengurip Bumi dan pada setiap hari tilem kaulu menghaturkan Aci Sarin Tahun.



gambar Pura Ulun Kulkul

6.  Pura Merajan Selonding
Di sebelah utara Pure Ulun Kulkul dan agak masuk ke barat jalan raya terdapat Pura Merajan Selonding. Dahulu kala pura ini adalah merajan dari Dalem Kesari Warmadewa yang diperkirakan pernah mempunyai istana di Besakih dengan nama Bumi KuripanRaja Purana Besakih dalam bentuk lontar yang sering disebut Prasasti Bredah disimpan di pura ini, demikian pula seperangkat gamelan kuno yang bernama Selonding. Dalam Lontar Catur Muni-Muni yaitu yang menceriterakan tentang asal mulanya ada tabuh gamelan di Bali, dikatakan bahwa Bhagawan Narada mengajarkan para pertapa menabuh gamelan dengan gamelan Selonding. Sementara itu dalam Markandeya Purana ditegaskan bahwa Sang Yogi Markandeya juga memakai nama Hyang Naradatapa. Apakah yang dimaksud dengan Bhagawan Narada ini Sang Yogi Markandeya dan gamelan yang dipakainya itu gamelan selonding yang tersimpan di pura ini, masih perlu diadakan penelitian lebih lanjut oleh para ahli. Piodalan di pura merajan Selonding pada hari Wraspati Kliwon Warigadean

7.  Pura Goa
Ke utara dari Pura Manik Mas, di sebelah timur jalan raya, terletak Pura Gua di mana Hyang Naga Basuki distanakan. Di sebelah timur pura ini terdapat sebuah sungai dan pada tebingnya ada sebuah gua besar, tetapi sekarang gua tersebut sudah tertimbun runtuhan tanah longsor. Dalam cerita tentang perjalanan Dang Hyang Sidimantra ke Besakih, dikisahkan bahwa di gua inilah beliau setiap hari tertentu mempersembahkan haturan kepada Hyang Naga Basuki berupa empahan (susu), madu dan telur. Juga di tempat ini Dang Hyang Manik Angkeran memotong ekor Naga Basuki, sehingga Dang Hyang Manik Angkeran dipanggang sampai meninggal, tetapi kemudian dihidupkan lagi setelah Dang Hyang Sidimantra (Ayah dan Dang Hyang Manik Angkeran) dapat memasang kembali ekor Naga Basuki yang terpotong itu. Menurut ceritera rakyat, dahulu kala gua itu tembus sampai ke Gua Lawah di Klungkung. Pernah ada kejadian, pada waktu ada sabung ayam di Gua Lawah, salah seekor ayam sabung lari masuk ke Gua Lawah, kemudian di kejar terus oleh pemiliknya dan akhirnya ia keluar di gua Besakih. Pada permukaan gua sekarang ini sudah diperbaiki sehingga memungkinkan orang duduk untuk sembahyang atau semadi. Piodalan di Pura Gua dilaksanakan pada hari Buda Wage Kelawu atau Buda Cemeng Kelawu



gambar Pura Goa

8.  Pura Banua Kawan
Terletak di sebelah timur jalan raya, yaitu di timur parkir kendaraan menghadap ke selatan. Di sini distanakan Batari Sri, dan hari piodalannya jatuh pada hari Sukra Umanis Kelawu. Dahulunya di sebelah timur pura ini agak ke selatan terdapat sebuah lumbung padi untuk tempat menyimpan sebagian dari padi hasil sawah druwe Pura Besakih. Sekarang lumbung ini sudah tidak ada dan akan diusahakan untuk dibangun kembali. Dengan adanya lumbung ini diharapkan sebagai sarana permohonan untuk penginih-inih, artinya segala yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pangan dapatlah dipenuhi, meskipun sederhana tetapi cukup.




gambar Pura Banua Kawan

9.  Pura Merajan Kanginan
Letaknya di sebelah timur Pura Banua Kawan, yaitu di ujung timur di tepi sebuah sungai menghadap ke selatan. Di sini distanakan Bhatara Rambut Sedana dan terdapat pelinggih untuk memulyakan Empu Bradah dan Bhatara Indra. Adapun piodalannya jatuh pada hari Saniscara Kliwon Krulut atau Tumpuk KrulutMenurut cerita yang pernah di dengar oleh para orang tua di Besakih, konon Pura ini bekas merajan dan Danghyang Manik Angkeran sewaktu beliau menjadi pertapa di Besakih.

10. Pura Hyang Haluh (Pura Jenggala)
Dari Pura Banua Kawan ke barat melalui jalan setapak, agak jauh ke dalam, lalu membelok ke utara akan kita dapati Pura Jenggala di atas sebuah bukit kecil. Menurut masyarakat setempat pura ini sering juga disebut Pura Hyang Haluh dan difungsikan sebagai Kahyangan Prajapati. Hal ini bisa di mengerti karena agak ke selatan dari Pura Jenggala terdapat tanah kuburan yang disebut Setra Agung. Di pura ini terdapat beberapa patung batu yang agak kuno menyerupai seorang resi, garuda, dan lain lainnya, yang sakral dan dibuatkan pelinggih-pelinggih. Banyak sekali ceritera rakyat yang dihubungkan dengan pura ini, ada yang mengatakan bekas pertapaan Dyah Kulputih, ada yang mengatakan Kahyangan Melanting dan ada pula yang memperkirakan semacam Pura Alas Angker.

11. Pura Basukihan
Di kaki Pura Penataran Agung Besakih, yaitu di sebelah kanan ketika kita akan menaiki tangga Pura Penataran Agung, terdapat sebuah pura yang pelinggih induknya berupa meru tumpang pitu (tingkat tujuh). Pura ini bernama Pura Basukihan, di tempat ini yang mana menurut perkiraan para sulinggih, Danghyang Markandeya menanam Pedagingan Panca Datu (lima jenis logam dengan kelengkapan upakaranya). Pura Basukihan, Pura Penataran Agung dan Pura Dalem Puri adalah induk dari Kahyangan Tiga, di desa-desa yaitu Pura Puseh, Pura Desa dan Pura Dalem. Dari kelengkapan pelinggih-pelinggih yang terdapat di masing-masing pura itu, demikian pula sastra-sastra agama yang ada hubungannya dengan tata cara membangun suatu pura, nampak bahwa pura Basukihan itu adalah Pura Puseh JagatPura Penataran Agung berfungsi sebagai Pura Desa Jagat, dan Pura Dalem Puri sebagai pura Dalem Jagat. Dengan demikian Pura Basukihan, Pura Penataran Agung, dan Pura Dalem Puri adalah pusat dari semua pura Puseh, pura Desa dan pura Dalem yang terletak di manapun, sehingga pura Besakih secara keseluruhan adalah Pura Penyungsung Jagat. Adapun yang distanakan di Pura Basukihan ini ialah Hyang Naga Basuki. Hari Piodalannya jatuh pada hari Buda Wage Klawu atau Buda Cemeng Klawu.



gambar Pura Basukihan

12. Pura Batu Madeg
Untuk mencapai Pura Batu Madeg ini kita berjalan kaki ke utara disebelah Barat Suci dan kemudian membelok sedikit ke Barat. Pura ini cukup luas di mana di dalamnya banyak terdapat palinggih-palinggih dan meru. Palinggih pokok adalah stana Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Hyang Wisnu berupa meru tumpang 11. upacara yadnya atau pangaci di Pura Batu Madeg terdiri dari piodalan pada hari Soma Umanis Tolu, Ngusabha Warigadian pada hari penanggal 5 sasih kelima, dan Benaung Bayu pada hari tilem sasih kelimaPalinggih-palinggih di Pura Batu Madeg antara lain:
a)  Bebaturan tempat memuja Bhatara Gajah Waktera. Di masa-masa yang lalu yaitu pada waktu perjuangan merebut kemerdekaan, konon para pejuang banyak yang bersemadhi di palinggih ini.
b)   Bebaturan linggih Bhatara Batudinding.
c)   Gedong Palinggih Bhatara Pujungsari.
d)   Meru tumpang 11 Palinggih Bhatara Manik Bungkah.
e)   Meru tumpang 11 Palinggih Bhatara Bagus Babotoh.
f)   Meru tumpang II Palinggih Bhatara Sakti Batu Madeg (Hyang Wisnu).
g)  Bebaturan Palinggih I Ratu Kelabangapit, tempat masyarakat memohon keselamatan bila akan membuat empelan (bendungan besar) dan memohon agar sawah-sawahnya tidak mengalami kekurangan air.
h)   Meru tumpang 9 Palinggih Bhatara Manik Buncing.
i)   Meru tumpang 9 Palinggih Bhatara Manik Angkeran yang dimuliakan oleh para prati sentananya dan sekarang dikenal dengan sebutan Pinatih, sulang dan Wayabya, di samping oleh Masyarakat umat Hindu umumnya.
j)  Bale Tegeh Palinggih Lingga.
k) Bale Pesamuhan Agung tempat pemujaan umum ke hadapan Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagi Hyang Wisnu.
l)  Bebaturan Pelinggih Bhatara Sanghyang Batur.
m)  Gedong Palinggih Sanghyang Kumpi Batur.
n) Enam buah Bale Pelik diantaranya terdapat tempat pemujaan pada Dukuh Suladri di Bale Pelik bagian Timur.
o)  Bangunan-Bangunan Bale Pegat, Bale Gong, Bale Pewedaan, dan Candi bentar.
Bila terdapat karya-karya agung di pura Besakih demikian pula pengaci di Pura Batu Madeg, maka semua palinggih-palinggih yang terdapat di Pura ini dihias dengan pengangge-pengangge palinggih seperti ider-ider, lelontek, pedapa, dan lain-lainnya dengan warna serba hitam.



gambar Pura Batu Madeg

13. Pura Gelap
Dari jalan setapak di sebelah timur Pura Penataran Agung, lalu ke utara (jalannya agak menanjak kira-kira 5 menit perjalanan), terdapat Pura Gelap di ketinggian. Pelinggih pokok berupa Meru tumpang 3 stanakan Hyang Iswara, juga dilinggihkan sebuah Padma, Palinggih Ciwa Lingga, Bebaturan Sapta Petala, Bale Pewedaan dan Bale GongPiodalan di Pura Gelap jatuh pada hari Soma Kliwon Wariga dan Aci Pengenteg Jagat pada setiap Purnama Sasih KaroDisinilah pura tempat umat maturan dan memohon kedamain pikiran dan kesejahteraan hidup sesuai dengan makna pengacinya yang disebut Aci Pengenteg Jagat. Pada waktu karya-karya di Pura Besakih semua pengangge-pengangge di Pura ini berwama serba putih.




gambar Pura Gelap

14. Pura Pengubengan
Pura Pengubengan ini letaknya di utara dari Pura Penataran Agung, melalui jalan setapak kira-kira 30 menit perjalanan. Di sini terdapat pelinggih pokok meru tumpang 11, di samping bale gong, bale Pelik, Piyasan, Candi Bentar dan tembok penyengker. Di sinilah pelinggih Pesamuhan Bhatara Kabeh sebelum Bhatara Turun Kabeh di Penataran Agung. Di antara pura-pura lainnya yang ada di Besakih, letak Pura Pengubengan ini yang tertinggi. Jika masyarakat bermaksud mempersembahkan aturannya kepuncak Gunung Agung akan tetapi tidak mampu karena tingginya, maka cukup aturan itu dipersembahkan di Pura Pengubengan ini. Sama halnya dengan Pura Peninjoan, pemandangan alam disini kelihatan indah sekali, akan tetapi Pura Penataran Agung tidak nampak dari sini. Sesungguhnya baik sekali apabila pada hari-hari tertentu (Rerainan) kita dapat pedek tangkil serta mempersembahkan aturan di Pura Peninjoan dan Pura Pengubengan secara berombongan, karena di samping hal-hal berkunjung ke pura-pura itu termasuk yadya yang disebut Tirtha Yatra, juga kita mengetahui secara langsung pura-pura itu. Piodalan di Pura Pengubengan jatuh pada hari Buda Wage Kelawu.




gambar Pura Pengubengan

15. Pura Tirtha
Tempatnya tidak begitu jauh dan Pure Pengubengan, yaitu disebelah timurnya, kira-kira 10 menit perjalanan. Di sini terdapat sumber tirtha atau air suci yang dipergunakan bila ada karya-karya agung di Pura Besakih ataupun karya-karya agung di desa-desa pekraman, demikian pula di sanggar-sanggar pemujaan umat seperti di sanggah merajanPiodalan di Pura Tirtha jatuh pada hari Buda Wage Kelawu.




gambar Pura Tirtha

16. Pura Peninjoan
Letak Pura ini agak ke barat-laut dari Pura Batu Madeg, melalui jalan setapak, menuruni lembah dan menyelusuri pinggir sungai kering tegalan penduduk. Perjalanan kurang lebih atarara 15 sampai 25 menit dan kita akan sampai di Pura Peninjoan di sebuah bukit kecil. Di sana terdapat sebuah Meru tumpang 9. Dari tempat inilah konon Empu Kuturan meninjau wilayah Desa Besakih yang sekarang menjadi tempat pelinggih-pelinggih di Pura Penataran Agung dan sekitarnya sewaktu beliau merencanakan pembangunan dan memperluas Pura Besakih di masa yang lalu, palinggih dahulu tidak sebanyak yang kita saksikan sekarang. Di tempat inilah Empu Kuturan menjalankan tapa yoga samadhi bila beliau ke Besakih. Ajaran-ajarannya tentang tata cara membangun pura, membuat pelinggih meru, kahyangan tiga, Asta Kosala Kosali dan lain-lainnya sampai sekarang masih dipraktekkan oleh segenap lapisan masyarakat Hindu. Setelah beliau moksa, beliau tidak lagi disebut Empu Kuturan, tetapi Bhatara Empu Kuturan, karena beliau dipandang sebagai Awatara atau Dewa Kemanusian, tidak ternilai besar jasanya dalam menuntun masyarakat Hindu, maka dari itu dan untukNya distanakanlah di Meru tumpang 9 di Pura Peninjoan ini, selain di tempat-tempat lain seperti di Silayukti (Padangbai - Karangasem).
Dari Pura Peninjoan, semua pelinggih di Pura Penataran Agung dapat dilihat dengan jelas, demikian pula dengan pantai dan daratan pulau Bali di sebelah selatan, akan terliha indah sekali. Selain dari meru tumpang 9, pura ini juga dilengkapi dengan dua buah Bale Pelik dan Piyasan. Piodalan di Pura Peninjoan pada hari Wraspati Wage Tolu.



gambar Pura Peninjoan

Nah sekian yang bisa saya rangkum tentang Pura Besakih dan pura-pura sekitarnya, ternyata masih banyak pura yang ada disana yang penulis belum ketahui dan datangi, begitu juga tentang sejarah masing-masing pura. Saya yakin pembaca sekalian pun baru mengetahuinya, maka jika suatu saat nanti kita ada waktu, dana, dan tenaga yang mencukupi, mari kita tangkil ke semua Pura-Pura yang tertera diatas.


(Tulisan ini menyadur dari Wikipedia dan www.babadbali.com)

oleh  Gede Laksana

"OM SHANTI, SHANTI, SHANTI, OM"


UDENG

" OM SWASTIASTU " Tata busana orang-orang Bali ketika melaksanakan suatu upacara atau kegiatan keagamaan memiliki ciri-ciri ...