Monday 5 June 2017

SABAR YANG TAK BERUJUNG DAN IKHLAS YANG TAK TERUCAP

" OM SWASTIASTU "


Hoahem.......aku mencoba membuka mata yang masih sulit kubuka, ingin kulanjutkan lagi tidurku di atas kasur yang berupa tumpukan kardus, namun bunyi kreoook..... dari perutku yang segera minta diisi dan mengharuskan aku segera bangun. Lalu aku pun pergi ke sungai untuk mencuci muka sebelum memulai sarapan pagi.

Usai membersihkan diri seperlunya aku menuju ke rumah. Dari kejauhan kupandang makin lama rumah warisan almarhum ayahku yang terbuat dari lembaran kardus dan terletak di bawah jembatan semakin reot saja. Aku hanya bisa menghela napas panjang sebelum masuk ke dalam. Kubuka bungkus roti dan berkata sendiri "hmm...rotiku kini tinggal sepotong, ini hanya cukup untuk hari ini, terpaksa besok aku harus kembali berpuasa", kuurungkan niatku untuk menyantapnya, tapi kuputuskan memakannya saat tengah hari nanti, walau sudah sedikit berjamur tapi segera kubungkus kembali dengan kertas koran bekas dan memasukan ke dalam kantong baju.

Oh iya aku lupa memperkenalkan diri, namaku adalah Kartaga, umurku sudah menginjak 10 tahun, aku adalah anak yatim piatu, ibu meninggal saat melahirkanku, dan bapakku baru saja dipanggil olehNya setahun yang lalu. Walau dalam kesendirianku tapi aku selalu merasa gembira, karena sekalipun aku mengeluh dan bersedih tak juga ada yang datang membantu, jadi aku selalu mencoba tuk tersenyum.

Dengan berbekal besi lengkung berkait dan sebuah kantung plastik berukuran besar, aku melanjutkan pekerjaan rutinku sebagai pemulung. Di perjalanan, kujumpai sebuah kuil. Aku berdoa dari luar lingkungan kuil. Maklum aku bau, dan lagi baju yang kupakai sangat kotor, karena memang hanya ini saja pakaian yang ku punya, dan lagi jika aku memaksa untuk masuk banyak orang yang akan melotot ke arahku. "Oh Tuhan, terima kasih atas segalanya selama ini, dan semoga hari ini pula aku selalu dalam lindunganMU" itulah sekelumit isi dari doaku. Usai berdoa aku kembali melanjutkan berburu barang bekas.

Ketika kantung plastikku sudah setengahnya terisi botol dan gelas plastik, di jalanan yang sunyi sepi tiba-tiba aku dikejutkan oleh seorang kakek tua yang sedang meringis kesakitan sambil memegang perutnya. Lalu kuhampiri, dari penampilannya aku menerka kakek ini seorang pengemis, dan aku pun mengajukan pertanyaan, "kakek kenapa? apa ada yang bisa saya bantu". Si kakek menjawab, "perut kakek sakit sekali nak, karena sudah beberapa hari kakek belum makan." Aku terkejut dengan jawaban kakek tersebut, ingin kuberikan roti punyaku, tapi seperti yang pembaca ketahui roti itu tinggal sepotong dan lagi aku juga sangat kelaparan, perdebatan hati pun terjadi. Tapi akhirnya kuputuskan memberikan roti tersebut kepadanya. "Kakek aku punya sepotong roti, tapi roti ini sudah sedikit berjamur, kalau kakek mau, silahkan diterima" kataku sambil menyerahkan roti tersebut. Semula si kakek bersikeras tak mau menerimanya, namun setelah ku paksa akhirnya dia menerima dan memakannya. Usai memakan roti pemberianku, di berkata "terima kasih nak, perut kakek sekarang terasa lebih baik, semoga Tuhan membalas kebaikanmu nanti." Setelah sedikit berbicang, lalu kuucapkan salam perpisahan dan berlalu dari hadapannya.

Siang hari telah tiba, perutku terasa sangat perih dan begitu lapar, aku meminum air sungai dalam botol untuk mengurangi rasa laparku, namun cara itu tak banyak membantu. Untuk menghilangkan pikiran tentang rasa lapar itu, aku kembali melanjutkan perjalanan.

Ketika tiba di depan sebuah rumah yang begitu mewah, aku mendengar seorang ibu berjalan keluar sambil mengomel, "dasar anak orang kaya untuk makan saja sulitnya minta ampun, nasi kuning yang baru sesuap dimakan saja sudah disuruh buang," katanya sambil membuang sebungkus plastik beserta isi lalu kembali masuk ke dalam rumah.

Setelah keadaan sepi, aku pun mendekati tempat sampah dan mengambil bungkusan plastik tersebut. Kucari tempat yang nyaman untuk membukanya.  Kubuka plastik beserta daun pembungkus, ternyata di dalam cukup banyak terdapat nasi kuning dan lauknya. Sebelum mulai makan, tak lupa aku bersyukur, "Ya Tuhan, terima kasih atas anugerahMu hari ini aku bisa makan nasi dan lauk yang enak."
  
Makan siang telah ku selesaikan, kini aku melanjutkan perjalanan kembali dalam pencarian barang bekas. Aku terus melangkah dan mencari, sampai kantung plastik terisi penuh oleh botol dan gelas plastik. Dan hal ini membuatku begitu gembira, karena kebetulan saja tak sampai sore hari kantong plastikku sudah terisi penuh. 

Sebelum pulang tak lupa aku menjualnya, dan uang itu kubelikan roti untuk bekal makan beberapa hari. Dan anehnya lagi, tiba-tiba di warung tempat membeli roti itu, aku diberikan sebungkus nasi oleh pemiliknya. Tapi sebagai ganti, kubantu dia menyapu di depan halaman warungnya. Aku sangat bersyukur kepadaNya, karena sepanjang hari aku bisa merasakan bagaimana nikmatnya nasi itu.

Tahun berganti tahun aku kini tumbuh menjadi seorang remaja, walau tubuhku kini semakin tinggi dari sebelumnya, namun keadaanku tetap miskin dan masih juga bertahan tinggal di bawah jembatan. Aku kini mencoba usaha sampingan, botol dan gelas plastik yang kuperoleh dari hasil memulung, kubentuk sedemikian rupa menjadi mainan anak-anak seperti baling-baling. Setelah itu kucoba menjualnya di depan sekolah dan pemukiman penduduk yang penuh anak-anak. Lambat laun uangku bisa terkumpul walau memerlukan waktu yang lama, dan mulai kupercantik karyaku dengan pernak-pernik agar lebih diminati dan bisa menjualnya sedikit lebih mahal. 

Lambat laun dengan semangat yang tak pernah padam, kini kehidupanku menjadi lebih baik dibandingkan aku yang berumur 10 tahun. Tapi walau perubahan telah terjadi, itu semua tak akan menjadikanku seseorang yang sombong, karena aku tau bagaimana kesendirian itu dan apa arti susah itu sebenarnya.

Pesan Penulis

Ketika kesabaran yang kian lama kian menipis dalam menghadapi peliknya kehidupan ini, sehingga terbersit keinginan untuk segera menyerah dalam mengarungi gempuran ombak kehidupan, maka ingatlah selalu akan kehadiranNya, patrilah Beliau dalam sanubarimu, karena dengan berlindung dan hanya percaya kepadaNya-lah kita akan mampu mengarungi keperkasaan ombak kehidupan. Tak ada hal yang terlewat olehNya, tak ada yang bisa disembunyikan dariNya, maka sudah sepatutnya lah kita percaya kepada Beliau sepenuhnya tanpa ada setitik pun keraguan di dalam diri.

Banyak cara Beliau dalam menguji setiap makhlukNya, kadang ujian itu dihadirkan lagi walau keadaan kita sudah begitu terpuruk, namun di sini sebenarnya akan ada titik balik dari keterpurukan yang kita hadapi jika kita mampu menjawab dengan benar. Apapun yang dimiliki olehmu, tapi begitu ada seseorang yang memang benar-benar membutuhkannya, berikanlah segera, karena kadang keikhlasan merupakan salah satu jawaban dari ujian Beliau kepada umatNya.

oleh Gede Laksana

"OM SHANTI, SHANTI, SHANTI OM "



4 comments:

  1. menyayat hati ceritanya

    ReplyDelete
  2. terima kasih atas pesan moral yg disampaikan

    ReplyDelete
  3. suka bingit ma tulisan nih

    ReplyDelete
  4. tulisannya mendalam sekali, terharu saya

    ReplyDelete

UDENG

" OM SWASTIASTU " Tata busana orang-orang Bali ketika melaksanakan suatu upacara atau kegiatan keagamaan memiliki ciri-ciri ...