Saturday 17 June 2017

SEGARA RUPEK

" OM SWASTIASTU "

Om Awighnam Astu Namo Sidham
Om Sidhirastu Tad Astu Swaha

Banyak rumor yang menceritakan bahwa Pulau Bali dan Pulau Jawa dahulu kala pernah menjadi satu daratan. Namun sekarang kedua daratan itu telah dipisahkan oleh Selat Bali. Para ahli telah banyak melakukan penilitian namun belum juga mendapatkan jawabannya.

Tapi menyimak kisah para Mpu/Rsi/pemuka agama pada zaman itu, kita mungkin akan berpikir bisa saja rumor tentang Pulau Bali dan Pulau Jawa dulu merupakan satu daratan adalah benar.  Sebagai contoh, mari kita coba membaca kisah dari perjalanan Rsi Markandeya dan rombongan ketika melakukan perjalanan dari Pulau Jawa ke Pulau Bali. Dalam kisah tersebut tak pernah diceritakan perjalanan menggunakan sarana angkutan laut ataupun perjalanan menyeberangi lautan. Hal itu pula yang mempertebal keyakinan orang-orang, bahwa kedua pulau itu dulunya adalah satu daratan, sehingga memungkinkan orang-orang Bali Aga itu berjalan kaki menuju ke Pulau Bali yang dulu dinamakan Wali (persembahan yang tulus ikhlas).

Dalam uraian Kitab Usana Bali, diceritakan penyebab putusnya kedua pulau ini dikarenakan kesaktian seorang pandita sakti yang bernama Mpu Sidhimantra, yang pada waktu itu bermukim di daerah Jawa Timur. Untuk lebih jelasnya mari kita simak cerita dibawah ini.

Alkisah Mpu Sidhimantra dikatakan mempunyai seorang sahabat baik, berwujud seekor ular besar atau lebih tepatnya seekor naga yang bernama Basukih (putra dari Rsi Kasyapa dan Dewi Kadru). Naga itu berstana pada sebuah goa besar di desa Besakih yang terletak di sekitar kaki Gunung Agung. Dan dikarenakan persahabatan itu pula, maka Mpu Sidhimantra tiap purnama kerap menjumpai sahabatnya disana dengan membawa madu, susu dan mentega.

Mpu Sidhimantra seorang yang tidak memiliki keturunan (Bekung), tapi dikarenakan kesempurnaan dari yoganya, akhirnya beliau dikaruniai seorang putra melalui sebuah upacara homa (unggun api/api suci). Ketika lahir putranya tersebut diberi nama Manik Angkeran. Hari pun berganti hari, kini Manik Angkeran tumbuh menjadi seorang remaja.  Namun sangat disayangkan dia mempunyai kebiasaan buruk yaitu gemar berjudi, dan tidak pernah menghiraukan nasehat ayahnya. 

Di dalam perjudian, Manik Angkeran sering mendapat kekalahan, sehingga membuatnya menjadi pribadi yang buruk. Pada suatu ketika, dimana sehari sebelum bulan purnama, secara kebetulan Mpu Sidhimantra sedang sakit. Maka dia pun berhalangan untuk menjumpai sahabatnya di Bali.

Kesempatan itu tak disia-siakan oleh Manik Angkeran, diambilnya dengan diam-diam “bajra” milik ayahnya lalu pergi ke Bali untuk menjumpai Sang Naga Basukih sahabat ayahnya. Tibalah dia di dalam goa, lalu Manik Angkeran duduk bersila dan membunyikan “bajra” yang di bawa, sehingga tak lama kemudian Naga Basukih keluar dari stananya.

Pada perjumpaan pertama mereka. Manik Angkeran berusaha menjelaskan kebohongan bahwa ayahnya yang sedang sakit memerintahkan dia sebagai wakil dengan membawa madu, susu dan mentega yang biasa dihidangkan oleh ayahnya tiap bulan purnama. Pemberian dari Manik Angkeran itu diterima oleh Naga Basukih dengan senang hati. Lalu ditanyakan lah kepada Manik Angkeran , apa yang diinginkan untuk bekalnya kembali ke Jawa. Manik Angkeran tidak minta apa-apa, dia hanya ingin masuk ke dalam goa Naga Basukih sebelum ia mohon diri pulang.

Naga Basukih tanpa rasa curiga mempersilahkan Manik Angkeran mengikutinya masuk ke dalam goa. Sewaktu setengah dari tubuh Sang Naga telah berada di dalam, sedang ekornya yang begitu panjang sebagian masih berada diluar, Manik Angkeran pun melihat sebuah batu permata besar yang melekat pada ujung ekor Naga Basukih. Hal ini menimbulkan keinginan kuat pada dirinya untuk mengambil dan memiliki batu permata tersebut. Dia pikir bahwa batu permata itu akan mencukupi jika di pakai berjudi seumur hidup. Lalu tanpa pikir panjang lagi, ekor Naga Basukih itu dia tebas dan batu permata itu lalu dibawanya lari.

Namun apalah daya, ketika pelariannya baru sampai di hutan Camara Geseng, dia pun mati hangus terbakar. Ini dikarenakan bekas jejak kakinya di tanah dijilat oleh Naga Basukih yang sedang marah. Kesaktian seperti ini mirip dengan kemampuan yang dimiliki oleh Antareja yang bernama Aji Upas Anta.  Antareja tak lain dari putra Bima (Panca Pandawa) dengan Dewi Nagagini (anak dari Naga Anantaboga, sedangkan Anantaboga merupakan saudara dari Naga Basukih)Di beberapa versi cerita ada yang menyebutkan bahwa kematian Manik Angkeran dikarenakan semburan api dari mulut Sang Naga. 

Kini kita kembali kepada Mpu Sidhimantra yang begitu cemas memikirkan nasib Manik Angkeran yang lama tak kunjung pulang beserta bajra pusakanya yang telah hilang. Dia pun segera menyusul anaknya pergi ke goa sahabatnya itu. Di sana Sang Mpu bertanya tentang anaknya yang telah lama menghilang.

Naga Basukih menjelaskan kejadiaanya secara detail kepada Mpu Sidhimantra. Dia mengatakan bahwa Manik Angkeran telah mati terbakar lantaran keberaniannya memenggal ekor Sang Naga.

Mpu Sidhimantra sangat menyesali perbuatan buruk anaknya, dan mohon supaya dosa anaknya di ampuni. Di sana dia berjanji kepada Sang Naga, jikalau Manik Angkeran dihidupkan kembali, maka sebagai ayahnya, dia akan merelakan Manik Angkeran selama hidupnya akan menetap di
 Bali dan akan menjadi abdi di Pura Besakih sebagai Pemangku. 

Permohonan dari Sang Mpu dikabulkan, sehingga Manik Angkeran kembali hidup berkat kesaktian Naga Basukih. Tempat di mana Manik Angkeran dihidupkan kembali kini menjad sebuah Pura yang dikenal dengan nama Pura Bangun Sakti yang terletak di kawasan Pura Besakih

Maka sejak saat itulah Manik Angkeran diperintah ayahnya untuk selamanya menetap di Bali, dan tak kan pernah diizinkan pulang ke Jawa. Setelah kejadian itu selesai, Mpu Sidhimantra segera kembali ke rumahnya. Untuk mencegah kemungkinan Manik Angkeran akan menyusul, saat perjalanan pulang dengan kesaktian yang dimiliki, Mpu Sidhimantra mengoreskan tongkatnya ke tanah, dan secara ajaib daratan pun terbelah, sehingga menyebabkan daratan antara Pulau Bali dengan Pulau Jawa menjadi terputus. Demikianlah akhir dari cerita SEGARA RUPEK ini, semoga dengan adanya cerita ini, kita semua sanggup menggali pesan-pesan moral apa saja yang bisa di contoh untuk kita umat sedharma.

*Cerita ini disadur dari berbagai sumber

Pesan Penulis

Ketika keinginan untuk senantiasa memenuhi hasrat yang tak pernah ada habisnya, maka disaat itu pula tubuh kita dikendalikan oleh otak sepenuhnya, jangan biarkan pikiran mengendalikanmu, fungsikan peran "hati" untuk mengimbangi dan mengekang pikiran, karena kebenaran hasil cipta otak akan berbeda dengan kebenaran dalam hati. (Gede Laksana16/06/2017)

oleh Gede Laksana

" OM SHANTI, SHANTI, SHANTI OM "



No comments:

Post a Comment

UDENG

" OM SWASTIASTU " Tata busana orang-orang Bali ketika melaksanakan suatu upacara atau kegiatan keagamaan memiliki ciri-ciri ...