Sunday, 25 June 2017

UDENG

" OM SWASTIASTU "

Tata busana orang-orang Bali ketika melaksanakan suatu upacara atau kegiatan keagamaan memiliki ciri-ciri khusus yang begitu unik. Mulai dari kepala sampai kaki, busana yang mereka kenakan memiliki makna filosofi. Nah, pada kesempatan ini saya sebagai penulis ingin membahas salah satu dari pelengkap busana khususnya laki-laki Bali yang dikenal dengan istilah udeng/destar.

Udeng berasal dari kata mudeng yang berarti paham atau mengerti. Sedangkan kata destar dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti ikat kepala. 

Parisada Hindu Dharma Indonesia di singkat dengan PHDI, telah menetapkan aturan dalam penggunaan udeng. Pemakaian udeng berwarna putih wajib digunakan jika melakukan persembahyangan ke sebuah Pura, yang bertujuan untuk menciptakan kesan kejernihan dan kedamaian pikiran. Karena warna putih mengandung makna kedamaian, permohonan maaf, pencapaian diri, spiritualitas, kedewataan, kesucian, kesederhanaan, kesempurnaan, kebersihan, cahaya, dan persatuan.

Sedangkan untuk melayat orang meninggal/berkabung hendaknya memakai udeng yang berwarna hitam, karena warna hitam adalah warna yang melambangkan pengusiran sesuatu yang bersifat negatif, formalitas, misteri, ketakutan, ketidakbahagiaan, perasaan yang dalam, kesedihan, dan kemarahan. Dan terakhir, penggunaan udeng berwarna batik (selain hitam/putih), biasanya di pakai saat acara-acara sosial lainnya.

Apakah makna dari udeng itu sendiri? Udeng adalah simbol ngiket manah (memusatkan pikiran). Yang mana pikiran itu merupakan sumber penggerak panca indera yang perlu dikendalikan. Nah dari alasan inilah lantas udeng diciptakan oleh para leluhur. Hal ini dikarenakan beliau ingin senantiasa mengajarkan anak dan cucunya petuah moral dari bentuk udeng itu sendiri.

Jika kita simak dengan baik lalu direnungkan, maka kita akan menemukan makna yang tersimpan di sana. Di bawah ini, saya akan melampirkan gambar udeng dan akan menjelaskan maknanya satu-persatu.


  • Pada gambar di atas, lekuk di sisi kanan (nomer 1) dibuat lebih tinggi dari pada sisi kiri (nomer 2). Ini mempunyai makna bahwa kita diharapkan senantiasa lebih banyak melakukan hal yang baik/benar (dharma) dari pada berbuat salah/buruk (adharma) pada kehidupan ini.
  • Tarikan kain dari kiri ke kanan melambangkan Dewa Brahma (nomer 3).
  • Tarikan kain dari kanan ke kiri melambangkan Dewa Wisnu (nomer 4).
  • Pertemuan antara kedua kain kiri dan kanan (nomer 5) melambangkan Dewa Siwa.
  • Gabungan dari kedua tarikan kain menjadi satu (nomer 3 dan 4 bertemu menjadi no 5) merupakan lambang dari Tri Murti yang menegaskan sebagai satu kesatuan yang utuh.
  • Ikatan di tengah – tengah kening (nomer 6) lambang cundamani/trolocana (mata ketiga) yang bermakna pemusatan pikiran. Ini juga bermakna jnana (pengetahuan) dan kebijaksanaan. Untuk mengikat kedua ujungnya diharapkan menggunakan "simpul hidup", agar mudah di buka atau di ikat kembali. Ini sesuai dengan mata ketiga Dewa Siwa yang setiap saat bisa terbuka dan tertutup lagi.
  • Ujung dari ikatan (nomer 7) diusahakan menghadap ke atas, ini mempunyai makna filosofi bahwa pemikiran lurus ke atas dalam memuja Ida sang Hyang Widhi Wasa.
Jadi petuah tersembunyi leluhur dari pemakaian udeng tersebut adalah, kita diingatkan agar senantiasa selalu berjalan di jalan dharma, baik dalam berpikir, berkata, dan berlaksana. Senantiasa menjalankan semua perintahNya, menjauhi segala laranganNya agar nanti mampu mencapai Moksartham Jagadhita ya ca iti Dharma.
Jenis-jenis udeng dalam "makna pakaian adat ke pura" terbagi menjadi tiga, yakni:
  • Udeng Jejateran (udeng untuk persembahyangan), penjelasan tentang udeng ini telah dijelaskan diatas.
  • Udeng Dara Kepak (udeng untuk warna ksatria) masih ada bebidakan tetapi ada tambahan penutup kepala yang berarti symbol pemimpin yang selalu melindungi masyarakatnya dan pemusatan kecerdasan. Kain yang menjulur ke bawah memiliki makna agar senantiasa memperhatikan kehidupan rakyat bawah dan selalu berprilaku sabar dan rendah diri. Udeng ini sering dipakai oleh A.A Rai Kalam dalam pementasan Drama Gong.
  • Udeng Beblatukan (udeng khusus pemangku) tidak ada bebidakan, hanya ada penutup kepala dan simpulnya berada di belakang, yang bermakna seorang pemangku hendaknya selalu mendahulukan kepentingan umum dari pada kepentingan pribadi, dan juga ini berarti sabda, bayu, idep sudah selaras dan semua nafsu sudah mampu ditundukan. Ujung ikatan yang menghadap ke bawah berarti senantiasa seperti ilmu padi dan selalu bersikap sabar. Kedua sisi dari udeng pemangku yang sama, menyimbulkan ketidakterikatan akan baik maupun buruk (sudah mampu mengatasi kebaikan dan kejahatan). 
Jadi simbol-simbol yang ada pada tiap udeng diatas, bukanlah sebuah perbedaan yang membuat umatnya berbeda, namun itu merupakan simbolis bahwa seorang pemangku sudah selayaknya mampu menguasai sifat-sifat buruknya, dan kita sebagai orang umum (walaka) hendaknya berupaya juga menguasai semua sifat-sifat buruk yang ada dalam diri sesuai dengan makna udeng yang dikenakan.

Terakhir, apakah simbol ngiket manah (memusatkan pikiran) bagi kaum wanita? Simbol pengiket manah ini ditunjukkan dengan rambut wanita yang dipusung (di sanggul) dibelakang kepala saat pergi ke tempat suci. Namun pada zaman sekarang ini, sudah jarang penulis lihat para wanita menyanggul rambutnya saat ke Pura, mungkin karena tidak tahu maknanya, terlalu ribet, malas, ataupun karena memang mengikuti style kekinian. Sehingga ajaran-ajaran leluhur yang penuh filosofi pun akhirnya makin tergerus oleh zaman.

 
Semoga dengan artikel ini dapat bermanfaat untuk semeton sedharma. Jikalau terdapat penjelasan yang kurang lengkap atau kurang tepat. Mohon dikoreksi bersama.



*Penjelasan pada tulisan ini sadur dari beberapa sumber

oleh Gede Laksana

" OM SHANTI, SHANTI, SHANTI, OM "

Friday, 23 June 2017

TRI NETRA

" OM SWASTIASTU "

Pada kesempatan ini, izinkan saya berbagi sedikit informasi yang kiranya bisa menjadi tambahan pengetahuan bagi kita semua, khususnya umat Hindu di Nusantara. Dan semoga dengan adanya tulisan ini menambah pengetahuan kita tentang atribut dari salah satu Tri Murti (Tri = tiga, Murti = perawakan/badan, jadi Tri Murti adalah tiga kekuatan Brahman/Ida Sang Hyang Widhi Wasa sebagai pencipta, pemelihara, dan pelebur). Yang akan kita bahas kali ini adalah tentang atribut dari Dewa Siwa. 

Dewa Siwa begitu di kenal dengan "wujudNya" yang begitu unik lain dari yang lain, dan penuh dengan seni (ini kata orang yang berjiwa seni). Tapi dalam keunikan wujudNya ini tesimpan makna mendalam dalam tiap atribut yang beliau kenakan. Sebagai contoh beliau digambarkan dengan sosok yang memiliki tiga mata atau kita kenal dengan istilah Tri Netra (Tri = tiga, Netra = Mata). Dan karena hal ini pula beliau bergela Tryambaka Deva (tiga mata Tuhan).

Mungkin masih ada yang belum tahu perihal tentang ketiga mata ini. Kedua mata yang di bawah alis bernama Phalanetra dan Agnilocana. Phalanetra terdiri dari dua kata, yaitu Phala (buah atau hasil), dan Netra (mata). Sedangkan Agnilocana yang terdiri dari dua kata pula dan memiliki arti Agni (api/Dewa Agni) dan Locana (mata). Nah masih ada satu mata lagi yang digambarkan pada sosok beliau, yaitu mata yang ada pada dahiNya. Mata ini dikenal dengan nama Trolocana (Tro/Tri = tiga, Locana = mata).  

Kenapa dinamakan Phalanetra? Cerita tentang Phalanetra tak pernah disebutkan secara detail pada Purana. Maka dari itu sebagai penulis, saya mencoba membuat kesimpulan sendiri. Mungkin dinamakan seperti ini dikarenakan beliau yang senantiasa melihat/mengawasi ketulusan/keikhlasan para pemujaNya dalam memuja Dewa Siwa, sehingga dengan begitu beliau lalu memberikan berkah/anugerah kepada mereka yang telah mampu membuatNya berkenan.

Bagaimana dengan Agnilocana? Dalam kisah dari beberapa Purana dinamakan seperti itu, karena dalam menghancurkan segala sesuatu berkaitan dengan Agni (api).

Sedangkan kisah Trolocana muncul terdapat beberapa kisah pada Purana antara lain yaitu
  • Diceritakanlah Dewa Siwa sedang asyik bercengkerama dengan saktiNya yaitu Dewi Parwati. Sang Dewi sedang bermain tutup-tutupan mata, karena mata Dewa Siwa ditutup oleh kedua telapak tangan Dewi Parwati, hal ini menyebabkan Dewa Siwa sulit melihat. Dan terhalangnya penglihatan Dewa Siwa ini, maka dunia menjadi goncang. Maka, dari  kening beliau muncullah mata ketiga (Trolocana) untuk mengembalikan keadaan dunia seperti sedia kala, yang terganggu akibat kedua mataNya yang tertutup oleh kedua telapak tangan Dewi Parwati.
  • Pada Lingga Purana dikisahkan asura Tataka (yang hanya mampu dibunuh oleh anaknya Dewa Siwa yaitu Dewa Kumara) mengganggu kedamaian di dunia manusia dan dunia para Dewa. Di kala itu Dewa Siwa sedang bermeditasi setelah kehilangan saktiNya Dewi Sati. Dalam kebingungan inilah yang membuat para Dewa yang dipimpin oleh Dewa Indra (Raja kahyangan/pemimpin para Dewa/Dewa petir) mencoba membangunkan Dewa Siwa dan hendak menjodohkan dengan Dewi Parwati. Mereka sepakat meminta pertolongan Dewa Kama (Dewa asmara/cinta kasih). Dengan upayaNya, berangkatlah para Dewa disertai Dewi Parwati ke tempat Dewa Siwa bertapa. Karena keampuhan dari panah Dewa Kama, maka Dewa Siwa tersadar dari meditasiNya. Dewa Siwa yang sedikit terusik oleh perbuatan Dewa Kama lalu membuka mata ketiganya dan menyemburkan api. Api itu segera membakar Dewa Kama hingga menjadi abu. Karena terkena panah cinta dari Dewa Kama akhirnya Dewa Siwa menikah dengan Dewi Parwati, dan melahirkan putra yang bernama Dewa Kumara/Subrahmanya yang dapat membunuh asura Tataka.
Ketiga bagian dari Tri Netra telah dijelaskan pada tulisan di atas, sekarang mari kita bahas tentang makna filosofi dari ketiga mata tersebut. 
  • Phalanetra dan Agnilocana melambangkan matahari (mata kananNya), dan bulan (mata kiriNya). Dua mata di kanan dan kiri ini menunjukkan aktivitasNya di dunia fisik.
  • Sedangkan mata ketiga di pusat dahiNya (Trolocanayang melambangkan jnana (pengetahuan) ini dikenal sebagai mata kebijaksanaan atau pengetahuan. Maka disimbolkan lah memalui cerita bahwa kekuatan pandangan mata ketiga Dewa Siwa ini dijelaskan pula bersifat menghancurkan kejahatan, maka dari itu para asura dan sejenisnya/pelaku kejahatan begitu ketakutan akan kekuatan mata ini. Mengapa demikian? Karena dengan pengetahuan dan kebijaksanaan kita akan mampu membelenggu/mengalahkan segala sifat buruk/adharma dalam diri.
Tri Netra merupakan tiga buah mata gaib dari Dewa Siwa yang mampu melihat seluruh alam semesta ini, dan Trolocana yang berada di dahi atau cudamani yang tertutup, dijelaskan dalam pagelaran Wayang Sapuh Leger sebagai drama ritual yang disakralkan di Bali pun dikisahkan bahwa :
  • Dewa Siwa bersabda, mataKu ada tiga (Tri Netra) diantara keningKu ada satu mata lagi, mata gaib yang dapat melihat seluruh alam dan tertutup oleh cudamani sebagai pemusatan pikiran
  • Dengan lambang cundamani ini khususnya dalam penggunaan udeng jejateran untuk sembahyang wajib menggunakan simpul hidup di depan dan dipusat dahi disela-sela mata karena simbol dari mata ketiga (Trolocana). Untuk lebih detailnya Klik di sini
Sekian kisah tentang Dewa Siwa saya akhiri. Semoga dengan tulisan ini mampu menambah wawasan anda tentang agama Hindu sehingga anda akan semakin mencintai agama yang telah di anut selama ini. Jika ada tulisan yang salah, alur cerita yang tak sesuai, saya sebagai penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya. Karena "tak ada gading yang tak retak".

oleh Gede Laksana



" OM SHANTI, SHANTI, SHANTI, OM "





Monday, 19 June 2017

BEBEKE PUTIH JAMBUL

"OM SWASTIASTU"

Tiap-tiap daerah pasti memiliki kebudayaan yang beranekaragam, unik dan berkualitas. Seperti halnya di pulau tercinta kita ini. Bali mempunyai berbagai macam seni yang terkenal sampai ke manca negara, sebagai contoh seni musik, seni suara, seni tari, seni pahat, seni lukis. 

Nah untuk kali ini saya akan membahas tentang seni suara. Untuk seni suara terdapat dua jenis yaitu seni kerawitan dan seni tembang. Di Bali kita pasti pernah mendengar dan mengenal istilah Dharma GitaIstilah Dharma Gita berasal dari bahasa Sansekerta dari kata Dharma dan Gita. Dharma artinya kebenaran, agama atau keagamaan, sedangkan Gita berarti nyanyian atau lagu. Jadi Dharma Gita berarti suatu lagu atau nyanyian kesucian yang secara khusus dilagukan pada saat-saat pelaksanaan upacara keagamaan umat Hindu. Dharma Gita juga merupakan satu dari media kesenian yang mengandung pemahaman ajaran agama khususnya agama Hindu serta sebagai usaha meningkatkan kesucian rohani.

Dalam rangka mempermudah mempelajari dan menghayati Dharma Gita, serta penerapannya dalam masyarakat, lalu Dharmagita dikelompokkan menjadi  5 bagian yaitu :
  1. Sekar Rare
  2. Sekar Alit
  3. Sekar Madya
  4. Sekar Agung
  5. Sloka
  6. Palawakya
Nah yang ingin saya bahas kali ini adalah salah satu lagu pada Sekar Alit. Kalian pasti tahu kan lagu Bebek Putih Jambul? Lagu ini sering kita nyayikan dulu sewaktu masih kecil. Tapi mungkin saja banyak yang belum tahu lagu sederhana ini sarat akan makna dan pembelajaran. Mari kita simak untuk mengetahui makna kiasan yang disembunyikan.

Bebeke putih jambul
Makeber ngaja kanginang
Neked kaja kangin,
Briak-briuk masileman


Pembahasannya sebagai beriku :
  • Pada kalimat Bebeke putih jambul, ini sebenarnya lambang dari orang-orang yang berjiwa suci, contohnya Sulinggih (Su=baik, mulia, agung, dan luhur, sedangkan  Linggih=kedudukan). Mengapa bebek putih jambul dipakai sebagai simbolik dari Sulinggih? Pertama yang bisa di analisis adalah dari bulu bebek yang berwarna putih sesuai dengan Amari Wesa (kewajiban tentang cara berpakaian Sulinggih) yang identik dengan warna putih. Tapi dalam hal ini, bukan hanya cara berpakaian ini yang digaris bawahi harus di tiru, tapi lebih kepada prilaku seorang Sulinggih yang wajib ditiru. Ini dikenal dengan nama Amari Sesana (kewajiban seorang Sulinggih dalam berprilaku). Memang tak kan semuanya mampu kita tiru dikarenakan status kita sebagai seorang Walaka, tapi setidaknya tirulah yang memang bisa kita tiru dan itu dibenarkan dan tak melanggar aturan yang ada.
    Lalu kenapa Bebeke putih jambul ini dikatakan simbolik dari seorang Sulinggih? Ini tak lain dikarenakan dari "jambul bebek" yang mirip dengan gulungan rambut Sulinggih yang dikenal dengan Aketujata/Aketuagung/Abhawa ron.
    Jadi kalimat Bebeke putih jambul ini menurut penafsiran saya selaku penulis, hal ini sebenarnya nasehat ditujukan khusus kepada mereka-mereka yang ingin/mulai menapak ajaran-ajaran kerohanian, tapi secara umum juga merupakan nasehat bagi semua orang.
  • Pada kalimat makeber ngaja kanginan, ini menunjukkan salah satu arah mata angin. Dalam agama Hindu, tak ada arah mata angin yang dikatakan khusus dan tersakral. Karena menurut ajaran agama, semua arah mata angin itu suci, sebab Tuhan ada di mana-mana dan memenuhi seluruh jagad raya. Nah hal ini lah kemudian tertuang dan kita kenal dengan konsep Dewata Nawa Sanga (sembilan Penguasa di setiap penjuru mata angin) dan semua itu adalah perwujudan dari kekuatan Tuhan dalam berbagai manifestasiNya. Dengan demikian semua arah ialah suci dikarenakan semua arah ada Dewa Penguasanya.
    Perkembangan Hindu di Bali dalam pemujaan kepada Tuhan terdapat sebuah istilah yaitu Hulu dan Teben. Hulu dan Teben adalah suatu konsep penataan tempat, baik secara vertikal maupun horisontal yang mampu membawa tatanan kehidupan skala dan niskala.  Hulu adala arah yang utama yang memakai arah Timur atau gunung sebagai acuannya, dan Teben adalah hilir dan memakai arah Barat dan laut sebagai acuannya.
    Arah 
    Timur sebagai hulu dikarenakan pada arah ini di mana matahari terbit. Matahari dalam pandangan umat Hindu adalah sumber energi yang memberi kehidupan pada semua mahluk. Dan juga Timur memiliki arti Wetan, yang berasal dari kata wit (asal mula). Jadi siapa yang dimaksud sebagai Wit ini? Tak lain dari Beliau yang menciptakan jagat raya dan seluruh isinya.Sedangkan gunung dikatakan sebagai hulu ini disebabkan fungsi dari gunung itu sebagai pengikat awan yang turun menjadi hujan kemudian ditampung dalam hutan yang merupakan sumber mata air kehidupan karena tiada kehidupan tanpa air.
    Dan sebagai catatan saja, penetapan Hulu dan Teben ini hanya merupakan kesepakatan dan etika pemujaan Hindu di Bali saja. Namun ada juga tempat pemujaan yang menghadap ke barat, ke selatan dan lain-lain. Itu bukanlah sebuah hal yang perlu di debatkan atau menjadi pertentangan karena seperti yang sudah diterangkan diatas bahwa dalam Hindu sejatinya semua arah adalah suci.
    Jadi maksud dari kalimat makeber ngaja kanginan mempunyai makna, bahwa ketika kita mulai menuju jalan Tuhan, kita diharapkan jiwa dan raga harus sepenuhnya/fokus diarahkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
  • Pada kalimat Neked kaja kangin, ini adalah simbolik dari seseorang yang telah mendalami agama maupun kerohanian (spiritual).
  • Sedangkan untuk kalimat Briak-briuk masileman ini merupakan kalimat kiasan dari kegiatan/aktifitas sehari-hari dalam menjalani dan mendalami agama ataupun dunia spiritual , yang hendaknya pelaku tersebut senantiasa menikmati hal tersebut, bukan disebabkan karena keterpaksaan. Dan di sini kita diajarkan tentang keiklasan yang menjadi modal dasar dari menapak jalan ke-Tuhan-an.
Kalau kita simak dan pahami secara keseluruhan dari lirik lagu di atas, maka kita akan meyadari bahwa leluhur kita dahulu mengajarkan ajaran moral/susila (etika) dan cara kita melaksanakan ajaran agama dengan mendalami pengetahuan dan filsafat agama (tattwa) yang telah dikombinasikan pada Seni Budaya, maka Tattwa (filsafat/ajaran agama) dan budaya ternyata saling mengikat tidak bertentangan. Ini lah hebatnya leluhur dulu, beliau dalam memberikan petuah/nasehat kepada anak cucunya, dengan sebuah nyanyian sederhana yang mengandung makna yang luar biasa, yang ingin kita mengupas maksud tersembunyinya. Inilah warisan beliau yang wajib kita jaga, dan kita wariskan kepada generasi selanjutnya. Mari pelajari lebih banyak lagi warisan-warisan apa saja yang beliau tinggalkan kepada kita, karena kita sebagai generasi selanjutnya, merupakan kewajiban kita untuk melestarikan semua ajaran-ajarannya.

* Tulisan ini menyadur dari berbagai sumber

Pesan Penulis

Ketika banyak karya sastra yang menggunakan majas simbolik diciptakan, di sana tertuang pesan-pesan moral yang diperuntukkan kepada kita sebagai generasi selanjutnya, seperti pada lagu Bebeke Putih Jambul, kita diharapkan mampu meniru karakter seekor bebek yang mampu memilah mana yang baik dan mana yang buruk, ketika saat bebek memilih makanan walau di dalam lumpur sekalipun, ia mengetahui dengan pasti yang mana makanan dan yang mana bukan makanan. Dan banyak lagi pelajaran yang bisa kita petik darinya dan menjadikannya sebuah pemahaman yang berharga.



"OM SHANTI, SHANTI, SHANTI, OM"



Saturday, 17 June 2017

SEGARA RUPEK

" OM SWASTIASTU "

Om Awighnam Astu Namo Sidham
Om Sidhirastu Tad Astu Swaha

Banyak rumor yang menceritakan bahwa Pulau Bali dan Pulau Jawa dahulu kala pernah menjadi satu daratan. Namun sekarang kedua daratan itu telah dipisahkan oleh Selat Bali. Para ahli telah banyak melakukan penilitian namun belum juga mendapatkan jawabannya.

Tapi menyimak kisah para Mpu/Rsi/pemuka agama pada zaman itu, kita mungkin akan berpikir bisa saja rumor tentang Pulau Bali dan Pulau Jawa dulu merupakan satu daratan adalah benar.  Sebagai contoh, mari kita coba membaca kisah dari perjalanan Rsi Markandeya dan rombongan ketika melakukan perjalanan dari Pulau Jawa ke Pulau Bali. Dalam kisah tersebut tak pernah diceritakan perjalanan menggunakan sarana angkutan laut ataupun perjalanan menyeberangi lautan. Hal itu pula yang mempertebal keyakinan orang-orang, bahwa kedua pulau itu dulunya adalah satu daratan, sehingga memungkinkan orang-orang Bali Aga itu berjalan kaki menuju ke Pulau Bali yang dulu dinamakan Wali (persembahan yang tulus ikhlas).

Dalam uraian Kitab Usana Bali, diceritakan penyebab putusnya kedua pulau ini dikarenakan kesaktian seorang pandita sakti yang bernama Mpu Sidhimantra, yang pada waktu itu bermukim di daerah Jawa Timur. Untuk lebih jelasnya mari kita simak cerita dibawah ini.

Alkisah Mpu Sidhimantra dikatakan mempunyai seorang sahabat baik, berwujud seekor ular besar atau lebih tepatnya seekor naga yang bernama Basukih (putra dari Rsi Kasyapa dan Dewi Kadru). Naga itu berstana pada sebuah goa besar di desa Besakih yang terletak di sekitar kaki Gunung Agung. Dan dikarenakan persahabatan itu pula, maka Mpu Sidhimantra tiap purnama kerap menjumpai sahabatnya disana dengan membawa madu, susu dan mentega.

Mpu Sidhimantra seorang yang tidak memiliki keturunan (Bekung), tapi dikarenakan kesempurnaan dari yoganya, akhirnya beliau dikaruniai seorang putra melalui sebuah upacara homa (unggun api/api suci). Ketika lahir putranya tersebut diberi nama Manik Angkeran. Hari pun berganti hari, kini Manik Angkeran tumbuh menjadi seorang remaja.  Namun sangat disayangkan dia mempunyai kebiasaan buruk yaitu gemar berjudi, dan tidak pernah menghiraukan nasehat ayahnya. 

Di dalam perjudian, Manik Angkeran sering mendapat kekalahan, sehingga membuatnya menjadi pribadi yang buruk. Pada suatu ketika, dimana sehari sebelum bulan purnama, secara kebetulan Mpu Sidhimantra sedang sakit. Maka dia pun berhalangan untuk menjumpai sahabatnya di Bali.

Kesempatan itu tak disia-siakan oleh Manik Angkeran, diambilnya dengan diam-diam “bajra” milik ayahnya lalu pergi ke Bali untuk menjumpai Sang Naga Basukih sahabat ayahnya. Tibalah dia di dalam goa, lalu Manik Angkeran duduk bersila dan membunyikan “bajra” yang di bawa, sehingga tak lama kemudian Naga Basukih keluar dari stananya.

Pada perjumpaan pertama mereka. Manik Angkeran berusaha menjelaskan kebohongan bahwa ayahnya yang sedang sakit memerintahkan dia sebagai wakil dengan membawa madu, susu dan mentega yang biasa dihidangkan oleh ayahnya tiap bulan purnama. Pemberian dari Manik Angkeran itu diterima oleh Naga Basukih dengan senang hati. Lalu ditanyakan lah kepada Manik Angkeran , apa yang diinginkan untuk bekalnya kembali ke Jawa. Manik Angkeran tidak minta apa-apa, dia hanya ingin masuk ke dalam goa Naga Basukih sebelum ia mohon diri pulang.

Naga Basukih tanpa rasa curiga mempersilahkan Manik Angkeran mengikutinya masuk ke dalam goa. Sewaktu setengah dari tubuh Sang Naga telah berada di dalam, sedang ekornya yang begitu panjang sebagian masih berada diluar, Manik Angkeran pun melihat sebuah batu permata besar yang melekat pada ujung ekor Naga Basukih. Hal ini menimbulkan keinginan kuat pada dirinya untuk mengambil dan memiliki batu permata tersebut. Dia pikir bahwa batu permata itu akan mencukupi jika di pakai berjudi seumur hidup. Lalu tanpa pikir panjang lagi, ekor Naga Basukih itu dia tebas dan batu permata itu lalu dibawanya lari.

Namun apalah daya, ketika pelariannya baru sampai di hutan Camara Geseng, dia pun mati hangus terbakar. Ini dikarenakan bekas jejak kakinya di tanah dijilat oleh Naga Basukih yang sedang marah. Kesaktian seperti ini mirip dengan kemampuan yang dimiliki oleh Antareja yang bernama Aji Upas Anta.  Antareja tak lain dari putra Bima (Panca Pandawa) dengan Dewi Nagagini (anak dari Naga Anantaboga, sedangkan Anantaboga merupakan saudara dari Naga Basukih)Di beberapa versi cerita ada yang menyebutkan bahwa kematian Manik Angkeran dikarenakan semburan api dari mulut Sang Naga. 

Kini kita kembali kepada Mpu Sidhimantra yang begitu cemas memikirkan nasib Manik Angkeran yang lama tak kunjung pulang beserta bajra pusakanya yang telah hilang. Dia pun segera menyusul anaknya pergi ke goa sahabatnya itu. Di sana Sang Mpu bertanya tentang anaknya yang telah lama menghilang.

Naga Basukih menjelaskan kejadiaanya secara detail kepada Mpu Sidhimantra. Dia mengatakan bahwa Manik Angkeran telah mati terbakar lantaran keberaniannya memenggal ekor Sang Naga.

Mpu Sidhimantra sangat menyesali perbuatan buruk anaknya, dan mohon supaya dosa anaknya di ampuni. Di sana dia berjanji kepada Sang Naga, jikalau Manik Angkeran dihidupkan kembali, maka sebagai ayahnya, dia akan merelakan Manik Angkeran selama hidupnya akan menetap di
 Bali dan akan menjadi abdi di Pura Besakih sebagai Pemangku. 

Permohonan dari Sang Mpu dikabulkan, sehingga Manik Angkeran kembali hidup berkat kesaktian Naga Basukih. Tempat di mana Manik Angkeran dihidupkan kembali kini menjad sebuah Pura yang dikenal dengan nama Pura Bangun Sakti yang terletak di kawasan Pura Besakih

Maka sejak saat itulah Manik Angkeran diperintah ayahnya untuk selamanya menetap di Bali, dan tak kan pernah diizinkan pulang ke Jawa. Setelah kejadian itu selesai, Mpu Sidhimantra segera kembali ke rumahnya. Untuk mencegah kemungkinan Manik Angkeran akan menyusul, saat perjalanan pulang dengan kesaktian yang dimiliki, Mpu Sidhimantra mengoreskan tongkatnya ke tanah, dan secara ajaib daratan pun terbelah, sehingga menyebabkan daratan antara Pulau Bali dengan Pulau Jawa menjadi terputus. Demikianlah akhir dari cerita SEGARA RUPEK ini, semoga dengan adanya cerita ini, kita semua sanggup menggali pesan-pesan moral apa saja yang bisa di contoh untuk kita umat sedharma.

*Cerita ini disadur dari berbagai sumber

Pesan Penulis

Ketika keinginan untuk senantiasa memenuhi hasrat yang tak pernah ada habisnya, maka disaat itu pula tubuh kita dikendalikan oleh otak sepenuhnya, jangan biarkan pikiran mengendalikanmu, fungsikan peran "hati" untuk mengimbangi dan mengekang pikiran, karena kebenaran hasil cipta otak akan berbeda dengan kebenaran dalam hati. (Gede Laksana16/06/2017)

oleh Gede Laksana

" OM SHANTI, SHANTI, SHANTI OM "



Monday, 12 June 2017

RUDRAKSHA

"OM SWASTIASTU"

Dewasa ini banyak terlihat orang-orang memakai gelang atau pun kalung yang berasal dari Rudraksha. Kebanyakan mereka yang memakainya adalah pemuja Dewa Siwa, karena Rudraksha ini sangat dimuliakan oleh para pemujaNya. 

Rudraksaha berasal dari kata Rudra (Dewa Rudra), dan Aksha (air mata). Kisah mitologi bagaimana munculnya pohon Rudraksha begitu menarik. Cerita ini di mulai pada awal penciptaan alam semesta.

Pada masa itu, terjadi perseteruan antara Dewa Wisnu dan Dewa Brahma (Dewa Brahma di kala itu masih berkepala lima) ini sebenarnya karena pengaruh dari Maya Siwa. Perseteruan itu untuk mencari siapa ayah dari alam semesta sebenarnya. Ketika kejadian itu berlangsung, tiba-tiba munculah pilar api yang tak terlihat ujung dan pangkal. Maka dari itu Mereka pun berlomba, barang siapa yang menemukan ujungnya dialah sang pemenang. Untuk menemukan pangkal pilar Dewa Wisnu lalu berubah menjadi Sweta Varaha (babi hutan putih) dan pergi ke bawah. Sedangkan Dewa Brahma dalam mencari ujung pilar menuju ke atas dan berubah menjadi seekor angsa. Sebenarnya keduaNya gagal menjalankan misi untuk menemukan ujung dan pangkal dari pilar api tersebut. Namun ketika itu Dewa Brahma melihat bunga Ketaki yang jatuh, maka Beliau pun meminta kepada bunga tersebut untuk menjadi saksi palsu dalam rangka membenarkan alasan Dewa Brahma telah berhasil melihat ujung dari pilar api. Bunga Ketaki dan Dewa Brahma akhirnya kembali bertemu dengan Dewa Wisnu. Dewa Brahma mendapatkan kemenangan dengan bunga Ketaki sebagai saksiNya. Dewa Wisnu lalu mengakui dan menerima kesuperioran Dewa Brahma. Kemudian Dewa Wisnu memberikan hormat pada Dewa Brahma.


Saat keegoisan, dan kesuperioran Dewa Wisnu sirna, demikian pula dengan Maya Siwa juga ikut menghilang. Dewa Wisnu pun mengulangi nama Dewa Siwa dengan Chitta (ketetapan hati/kesadaran). Dengan pemujaan yang dilakukan Dewa Wisnu, Dewa Siwa menjadi berkenan dan mengampuniNya. Tak hanya itu, Dewa Siwa yang memiliki tubuh bagaikan kristal (putih mengkilap) menjanjikan Sri Hari (nama lain dari Dewa Wisnu) dengan tubuh berkilau bagai safir (biru gelap).

Dewa Siwa bersabda "Wahai Narayana! Seandainya Engkau berbohong seperti Brahma, Engkau akan memperoleh kemenangan. Tetapi Engkau tidak mau melakukan kebohongan itu. Dengan kebenaran Engkau membuatku sangat berkenan. Kebenaran itu abadi. Ia yang memegang teguh kebenaran akan abadi. Mulai saat ini Engkau akan dipuja di ketiga dunia, di surga, di bumi dan di alam bawah, seperti Aku. Banyak tempat suci dipersembahkan padaMu seperti Aku sebagai kshetra. Pemujaan juga akan banyak diadakan untukMu. Dewa Siwa memberkahi Dewa Wisnu, lalu menghukum Dewa Brahma dengan cara di penggal.

Bhava/Sambasiwa, lalu menciptakan makhluk yang bernama Bhairawa (menakutkan/mengerikan) dan memerintahkan untuk menghukum Dewa Brahma dengan memenggal kepalanya! Bhairawa memegang kepala Dewa Brahma lalu memotong kepala pertamaNya. Ketika kepala yang lain juga akan menemui nasib serupa, Dewa Brahma segera memohon ampunan pada Dewa Siwa.

Dewa Brahma memohon hidup pada Dewa Siwa. Dewa Wisnu juga turut memohon pada Dewa Siwa sehingga Dewa Siwa berkenan dan mengabulkan permohonan itu. Selain itu Dewa Siwa juga mengijinkan Dewa Brahma menjalankan kewajibanNya sebagai pencipta, tetapi tetap mengutukNya bahwa ia tidak akan dipuja lagi. Namun Dewa Brahma juga mendapatkan pengampunan lain, bahwa pada semua upacara api, Dewa Brahma akan dihormati sebagai pencipta. Ritual yang tidak memberikan penghormatan pada Dewa Brahma tidak akan mendatangkan hasil.

Dewa Siwa juga bersabda pada Mereka berdua,"meditasi dan perenungan padaKu dan keagunganKu akan menjadi sangat suci dan penuh anugerah. Pujalah Lingga yang berada dihadapanMu. Aku akan memenuhi keinginan semua pemuja dalam wujudKu ini. Pemujaan dengan menggunakan Lingga adalah yang termudah dan terbaik. Brahma! Menciptalah. Aku akan muncul dari dahiMu sebagai Rudra. Uma berada dalam diriKu adalah prakrti. Bentuk kedua prakrti adalah Saraswati yang akan di bawa oleh Brahma, bentuk yang ketiga adalah Lakshmi akan dibawa oleh Wisnu. Bentuk lain adalah Kali yang akan tertarik pada Rudra pada medan internal dan eksternal yang dipenuhi dengan Rajoguna. (ini pulalah asal dari Dewi Gayatri)

Singkat cerita waktu terus berjalan, maka dimulailah kisah kelahiran Dewa Rudra yang banyak kita jumpai dalam kitab-kitab Weda Samhita dan kitab Wişņu Purāna dengan berbagai versi. Diceritakan Dewa Brahma sedang marah kepada anak-anakNya yang diciptakan pertama kali yang tidak menghargai arti penciptaan dunia bagi semua makhluk. Akibat kemarahanNya itu tiba-tiba dari kening Dewa Brahma muncul seorang anak yang bersinar seperti matahari. Anak itu diberi nama Rudra. Dari tubuhNya yang setengah laki-laki dan setengah perempuan (ardhanareswari), muncul lah anak berjumlah sebelas orang. Badan Dewa Rudra yang berjumlah sebelas itu, menurut kitab Wişņu Purāna merupakan asal mula Eka Dasa Rudra.

Dewa Brahma lalu memujaNya dan memohon untuk melakukan proses penciptaan yang merupakan subyek kelahiran, umur tua dan penyakit. Tetapi Dewa Rudra menolak  dan mengatakan bahwa Ia lebih suka membebaskan manusia dari kesedihan dan mengangkat mereka. Ia memberitahu Dewa Brahma untuk menciptakan manusia seperti yang Ia sarankan dan memberikanNya anugerah. Setelah itu Dewa Rudra pergi.

Suatu kali Dewa Rudra melakukan tapasya, perenungan yang berlangsung selama bertahun-tahun. Ketika Beliau mencapai kesadaran akan sekelilingNya dan membuka mataNya, beberapa tetes air mata terjatuh ke bumi. Satu butir air mata itu jatuh di daerah Gowda dan yang lainnya sampai ke Mathura, Ayodya, Lankapatna, Gunung Malaya, Sathyagiri dan Kashi. Air mata yang jatuh ini seketika itu juga menjadi Rudraksha. Karena berasal dari mata Dewa Rudra, maka disebutlah sebagai Rudraksha. Rudraksha sangat ampuh menghapus kesedihan semua makhluk.

Nah itu sekilas cerita dari Dewa Rudra dan proses terciptanya Rudraksha. sekarang mari kita cari tahu apa manfaat dan kelebihan dari Rudraksa itu sendiri.

Menurut Siwa Purana yang merupakan sabda dari Dewa Siwa, bahwa Rudraksha dengan ukuran sebuah biji regu (Zizyphus jujuba) akan memberikan ketenangan dan kekayaan. Yang memiliki ukuran sebuah biji Gooeseberri (amla) akan mengurangi keburukan. Yang memiliki ukuran seperti sebuah guru-vinja sebuah biji kecil, yang berwarna merah pada ujungnya dan berwarna hitam pada bagian bawah akan memenuhi semua keinginan hati pemakainya. Rudraksha lebih ampuh ketika ukurannya kecil. Bisa dipakai seperti seutas tali untuk japa (mengulangi nama dewa).

Biji Rudraksha memiliki kekuatan yang luar biasa dan tidak dapat dijelaskan. Siapapun yang menggunakan biji Rudraksha akan dapat merasakan bahwa hal itu meningkatkan kedamaian pikiran, ketenangan, kesehatan yang lebih baik, kesuksesan, kemakmuran dan keberuntungan. Depresi dan kemurungan adalah hal yang dapat ditangkal oleh biji rudraksha dalam waktu singkat. Karena itu biji rudraksha juga dikenal dengan sebutan “biji pelenyap kegundahan”.

Hanya dengan menggenggam biji rudraksha dengan tangan atau memakainya hanya dalam jangka waktu beberapa jam saja, seseorang dapat dengan jelas merasakan meningkatnya energi vitalitas, relaksasi yang mendalam dan perasaan tenang. Kita merasa jauh lebih baik dan berbeda ketika biji rudraksha bersentuhan dengan badan kita.

MANFAAT BILA RUDRAKSHA BERSENTUHAN DENGAN KULIT :
₪ Membuat suhu badan menjadi sejuk
₪ Meredakan gangguan jantung dan tekanan darah rendah
₪ Meningkatkan daya ingat, kejernihan pikiran dan kesadaran
₪ Memperbaiki kinerja sistem syaraf
₪ Membantu mengheningkan pikiran, melepaskan pikiran negatif
₪ Memperlambat proses penuaan

Selama ribuan tahun, rudraksha banyak digunakan oleh para yogi di India, Nepal dan Himalaya untuk mencapai pencerahan dan pembebasan. Rudraksha bukan hanya sekedar sebagai alat hitung dalam melakukan japa (mantra yoga), melainkan juga sebagai sarana untuk meremajakan pikiran, tubuh dan jiwa, sehingga kualitas hidup secara keseluruhan dapat ditingkatkan. Tidak hanya itu, rudraksha juga banyak digunakan pada bidang kesehatan sebagai bahan berbagai obat-obatan Ayur Veda.

Menurut hasil penelitian Dr. Suhas Roy dari Indian Institute of Technology di Banaras India pada tahun 1993, sifat bioelektrokimia pada biji rudraksha dapat mengirimkan sinyal secara beraturan ke jantung ketika digunakan sebagai kalung dan merangsang sistem otak pusat. Hasilnya akan timbul perasaan tenang, damai dan berpikiran positif.

Dalam riset lain dari Indian Institute of Technology, diketahui bahwa biji rudraksha memiliki nilai spesifik gravitasi sebesar 1,2 dengan pH 4,48. Artinya ketika digunakan untuk melakukan japa, rudraksha memiliki daya elektromagnetik sebesar 10.000 gauss pada keseimbangan faraday, yang muncul dari hasil konduksi elektron alkalin. Karena itulah rudraksha diyakini dapat mengontrol tekanan darah, stres, serta berbagai gangguan psikologi lainnya.

Dari hasil riset Singh R.K. dari Departement of Pharmacology, Banaras Hindu University India, diketahui bahwa biji rudraksha tidak saja berkhasiat saat dikalungkan di leher tapi juga bagus untuk diminum air rendaman atau rebusannya, karena dapat menyembuhkan berbagai penyakit. Biji rudraksha direndam semalam, lalu diminum saat perut kosong. Bila disertai dengan mengalungkan rudraksha di leher, dalam tujuh hari terbukti efektif meredam hipertensi, memastikan sirkulasi darah yang ideal untuk tubuh dan menghasilkan perasaan tenang dan damai. Rudraksha juga berfungsi sebagai pelindung tubuh dari bakteri, kanker dan radang. Glikosida, teroid, alkaloid dan flavonoid yang terkandung dalam rudraksha baik untuk kesehatan paru-paru.

Hasil riset A.B. Ray dari Departement of Medicinal Chemistry, Banaras Hindu University India, menunjukkan bahwa senyawa alkaloid yang terkandung dalam rudraksha antara lain : pseudoepi-isoelaeocarpilin, rudrakine, elaeocarpine, isoelaeocarpine dan elaeocarpiline. Senyawa tersebut memiliki khasiat untuk meluruhkan lemak badan. Caranya, 25 gram biji rudraksha kering, dicuci dan direbus dalam 1 gelas air sampai air rebusan tersisa separuh. Setelah air rebusan dingin, saring, lalu minum sekaligus.

Sepanjang sejarah pengobatan kuno india, yaitu Ayur Veda, biji dan mukhi (muka) rudraksha seringkali dipergunakan dalam berbagai jenis perawatan tubuh dan mengobati berbagai jenis penyakit. Setiap mukhi biji rudraksha dipercaya memiliki manfaat spesifik dan kekuatan khusus dalam mengubah cara pandang dan kepribadian seseorang. Sifat elektromagnetik yang kuat, paramagnetik dan sifat induktif yang dimiliki rudraksha, dapat menimbulkan impuls listrik dikirim ke otak, merangsang pusat otak tertentu yang menyebabkan transformasi positif dalam cara pandangan, kharisma, kepribadian, dan kepercayaan diri pada para pemakai biji rudraksha.

Dalam budaya timur, biji rudraksha ini diyakini memiliki kekuatan spiritual dan supranatural. Artinya biji rudraksha memiliki keajaiban membantu menjalani hidup dengan lebih baik secara jasmani maupun rohani.

Biji rudraksa dapat memiliki sejumlah mukhi, mulai mukhi 1 s/d mukhi 38. Yang paling umum adalah mukhi 5 atau Pancamukhi Rudraksha. Mukhi yang paling langka adalah mukhi 1 atau Ekamukhi Rudraksha dan Trijuti Rudraksa.

PERWUJUDAN, MANFAAT DAN BIJA MANTRA PADA SETIAP MUKHI
Mukhi Rudraksha 1 s/d 21

Mukhi                                Wujud Manfaat                                              Bija Mantra
1 Shiwa                   Kebahagiaan & Pembebasan                                Om Hrim Namah
2 Shiwa Parwati      Keinginan Terpenuhi & Kedamaian                     Om Namah
3 Agni                     Keselamatan & Religius                                       Om Klim Namah
4 Brahma                 Kreativitas & Kecerdasan                                     Om Hrim Namah
5 Panca Brahma       Perlindungan, Kebahagiaan & Peleburan Dosa   Om Hrim Namah
6 Karttikeya             Kemakmuran, Ketenaran & Kekuatan                 Om Hrim Hum Namah
7 Lakshmi                Kemakmuran & Kesehatan                                  Om Hum Namah
8 Ganesha                Panjang umur & Kebijaksanaan                           Om Hum Namah
9 Dhurga                  Karunia Nawasakti (sembilan kekuatan)              Om Hrim Hum Namah
10 Wisnu                  Kedamaian & Perlindungan                                 Om Hrim Namah
11 Rudra                  Kekuatan Fisik-Mental & Kemenangan               Om Hrim Hum Namah
12 Raditya                Dihormati & Ketenaran                                      Om Kraum Ksaum Raum Namah
13 Wiswadewa         Keberuntungan & Kebajikan                                Om Hrum Namah
14 Shiwa                   Aktifkan Mata Ketiga & tingkatkan Intuisi          Om Namah Shiva Ya
15 Pasupati               Tingkatkan Ide & Intuisi                                       Om Namah Shiva Ya
16 Rama        Keselamatan Rumah Dari Kebakaran, Pencurian & Perampokan    Om Namah Shiva Ya
17 Wiswakarma        Keberuntungan Dalam Investasi & Properti          Om Namah Shiva Ya
18 Pertiwi                Kebahagiaan & Kesehatan Wanita Hamil               Om Namah Shiva Ya
19 Narayana             Terbebas Dari Kesulitan ekonomi                          Om Namah Shiva Ya
20 Brahma               Spiritual & Penglihatan                                           Om Namah Shiva Ya
21 Kuwera               Kemakmuran & Keberuntungan                             Om Namah Shiva Ya

Mukhi Rudraksha Yang Unik
  1. Garbha Gauri = baik untuk wanita yang ingin punya anak, baik pula untuk wanita yang akan melahirkan & keharmonisan dalam keluarga
  2. Gauri Shankar = untuk keharmonisan keluarga (khusus dikenakan oleh laki-laki)
  3. Ganesha = untuk kesuksesan dalam bekerjasama & kebijaksanaan
  4. Trijuti = untuk memperoleh karunia Dewa Brahma, Dewa Wisnu & Dewa Maheswara
contoh gambar :
Garbha Gauri
Gauri Shankar
Ganesha
Trijuti

Semoga dengan adanya tulisan ini akan memberi manfaat bagi yang pembaca, jikalau ada salah kata dan ejaan, mohon maaf yang sebesar-besarnya. Tulisan ini disadur dari berbagai sumber.

oleh Gede Laksana


" OM SHANTI, SHANTI, SHANTI, OM"

UDENG

" OM SWASTIASTU " Tata busana orang-orang Bali ketika melaksanakan suatu upacara atau kegiatan keagamaan memiliki ciri-ciri ...