Monday, 1 May 2017

STHANA-NYA DEWA ISWARA MENURUT NAWA SANGA

"OM SWASTIASTU"

Dewata Nawa Sanga adalah sembilan dewata penguasa pada setiap penjuru mata angin, ini tertera dalam konsep agama Hindu di Bali. Sembilan penguasa tersebut merupakan Dewa Siwa yang dikelilingi oleh delapan aspeknya. Diagram Matahari yang bergambar Dewata Nawa Sanga ini, ditemukan dalam Surya Majapahit yang merupakan lambang kerajaan Majapahit sendiri. 

Nah, yang ingin saya bahas kali ini tentang Dewa Iswara. Isi D
iagram Matahari bergambar Dewata Nawa Sanga menjelaskan bahwa dalam lambang ini Dewa Iswara merupakan penguasa arah timur laut (Purwa), yang bersenjatakan Bajra, wahananya (kendaraan) adalah Gajah, Shakti dari Dewa Iswara ialah Dewi Uma, aksara suciNya "SA", dilambangkan dengan warna putih, dan di Bali Beliau di puja di Pura Lempuyang. Dewa Iswara adalah sebuah konsep filosofis agama Hindu yang berarti "pengendali/penguasa".

Adakah orang Bali yang belum pernah tangkil ke pura ini? Pasti ada kan, kalau begitu yuk kita bahas agar lebih mengenal tentang Pura ini. 


gambar Pura Lempuyang Luhur

Pura Lempuyang merupakan Pura yang paling tua di Bali. Pura Lempuyang Luhur terletak di bagian timur Pulau Bali. Tepatnya di Desa Purahayu Kecamatan Abang, Karangasem. Di Bukit Gamongan atau Bukit Bisbis atau Gunung Kembar berdiri hening Pura Lempuyang Luhur. Menurut buku Upadesa, pura ini salah satu dari Pura Sad Kahyangan di Bali, tempat memuja Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewa Iswara.

Dewa Iswara sebagai pelindung arah timur yaitu arahnya matahari terbit. Dewa/Dewi sinar matahari itu disebut juga Dewi Savita atau Dewi Savitri. Pemujaan pada Dewa Iswara bertujuan untuk mengarahkan diri agar mendapatkan sinar pencerahan hidup (Jyotir). Kutipan dari sloka Brhad Aranyaka Upanisad 1.3,28 tertulis bahwa dengan sinar suci yang disebut Jyotir, kita akan melepaskan jiwa dari kegelapan yang disebut Tamasa. Dari kehidupan yang Jyotir atau jiwa yang cerah itulah kita bebas dari kematian rohani menuju kehidupan yang sejati yang disebut Amrtam.

Pura Lempuyang Luhur dan Pura Sad Kahyangan lainnya didirikan pada abad ke-11 Masehi oleh Mpu Kuturan mendampingi Raja Udayana memerintah Bali bersama permaisurinya. 

Dalam buku terbitan Dinas Kebudayaan Bali (1998) berjudul ”Lempuyang Luhur” disebutkan, lempuyang berasal dari kata ”lampu” artinya sinar dan ”hyang” untuk menyebut Tuhan, seperti Hyang Widhi. Dari kata itu lempuyang atau lampuyang diartikan sinar suci Tuhan yang terang-benderang (mencorong/menyorot).
Ada juga versi  lain yang menyebutkan lempuyang adalah sejenis tanaman yang dipakai bumbu masak. Hal itu juga dikaitkan dengan nama banjar di sekitar Lempuyang yaitu Bajar Bangle dan Gamongan. Bangle dan Gamongan merupakan tanaman sejenis yang bias dipakai obat dan bumbu. Versi lain ada juga yang menyebut lempuyang berasal dari kata ‘empu’ atau ‘emong’ yang diartikan menjaga. Sang Hyang Pasupati mengutus tiga putranya turun untuk mengemong guna menjaga kestabilan Bali dari berbagai guncangan bencana alam.
Dalam lontar Kutara Kanda Dewa Purana Bangsul dinyatakan bahwa Sang Hyang Parameswara membawa gunung-gunung yang ada di Bali dari Gunung Mahameru di Jambhudwipa (India). Potongan Gunung Mahameru itu dibawa ke Bali dan dipecah menjadi tiga bagian besar dan juga bagian-bagian kecil. Bagian tengahnya dijadikan Gunung Batur dan Rinjani, sedangkan puncaknya menjadi Gunung Agung. Pecahannya yang lebih kecil menjadi deretan gunung-gunung di Bali yang berhubungan satu sama lainnya. Gunung-gunung tersebut adalah Gunung Tapsahi, Pengelengan, Siladnyana, Beratan, Batukaru, Nagaloka, Pulaki, Puncak Sangkur, Bukit Rangda, Trate Bang, Padang Dawa, Andhakasa, Uluwatu, Sraya, dan gunung lempuyang. Gunung-gunung itu sebagai stana para Dewa manifestasi Tuhan untuk menjaga Bali.
Dalam lontar itu juga disebutkan bahwa Sang Parameswara menugaskan putraNya Sang Hyang Agnijayasakti turun ke Bali dan menjaga kesejahteraan Bali dan beliau ber-stana di Gunung Lempuyang bersama dengan dewa-dewa lainnya.
Sekitar tahun 1950 didirikannya Pura Lempuyang Luhur, baru ada tumpukan batu dan sanggar agung yang dibuat dari pohon hidup. Dibagian timur berdiri sebuah pohon sidhakarya besar yang kini sudah tidak ada lagi. Di duga pohon itu tumbang atau mati pelan-pelan tanpa ada generasi baru menggantikannya. Barulah pada tahun 1960 dibangun dua padma kembar, dan sebuah padma tunggal bale piyasan.
Pura Lempuyang memiliki status penting, sama seperti Pura Besakih. Baik dalam konsep padma bhuwana, catur loka pala ataupun dewata nawa sanga. Dalam berbagai sumber lontar atau prasasti kuno, ada tiga Pura besar yang sering disebut selain Besakih dan Ulun Danu Batur yakni Pura lempuyang.
Mengutip sejumlah sumber kuno, Jero Mangku Gede Wangi, pemangku di pura itu mengatakan ;
Orang Bali apapun wangsanya tak boleh melupakan pura ini. Paling tidak sekali waktu menyempatkan diri tangkil sembahyang ke pura ini.Sebab,jika tidak pernah atau lupa memuja Tuhan yang manifestasinya berstana di pura ini, selama hidup tak akan pernah menemukan kebahagiaan, seringkali cekcok dengan keluarga atau dengan masyarakat dan bahkan pendek umur.
Kewajiban masyarakat Bali untuk memuja Batara Hyang Gni Jaya di Lempuyang Luhur disebutkan dalam bhisama Hyang Gni Jaya yang tertulis dalam Lontar Brahmanda Purana sebagai berikut:
Wastu kita wong Bali, yan kita lali ring kahyangan, tan bakti kita ngedasa temuang sapisan, ring kahyangan ira Hyang Agni Jaya, moga-moga kita tan dadi jadma, wastu kita ping tiga kena saupa drawa
Jero Mangku Gede Wangi mengatakan pula, untuk memulai belajar ilmu pengetahuan, apalagi ilmu keagamaan Hindu, sangat baik jika dimulai dengan mohon restu di Pura Lempuyang Luhur. Selain itu, banyak pejabat suka bertirtayatra ke pura ini.
Jero Mangku Gede Wangi menyampaikan, di Pura Lempuyang Luhur terdapat tirta pingit di pohon bambu yang tumbuh di areal Pura Luhur. Saat umat nunas tirta, pemangku pura usai ngaturang panguning akan memotong sebuah pohon bambu. Air suci/tirta dari pohon bambu itu di-pundut untuk muput berbagai upacara, kecuali manusa yadnya. ”Siapa pun tak boleh berbuat buruk seperti campah di pura, jika tak ingin kena marabahaya,” ujar Jero Mangku.
Beberapa pantangan yang ada di Pura Lempuyang juga ditegaskan oleh Jero Mangku Gede Wangi, ada beberapa pantangan yang tidak boleh dilanggar ketika hendak naik ke Pura Lempuyang Luhur dan jika dilanggar akan berdampak buruk.  Pantangannya yaitu sebagai berikut:
  1. Sejak awal, pikiran, perkataan, dan perbuatan harus disucikan
  2. Tidak boleh berkata kasar saat dalam perjalanan
  3. Orang cuntaka, wanita haid, menyusui, anak yang belum tanggal gigi susu sebaiknya jangan dulu masuk pura atau sembahyang ke  pura
  4. Tidak boleh membawa perhiasan emas, karena kerap kali jika membawa perhiasan emas akan hilang secara misterius
  5. Membawa makanan atau makan daging babi saat ke Pura Lempuyang, karena daging babi terbilang cemer

Menurut cerita Jero Mangku Gede Wangi, pernah ada rombongan orang sembahyang naik Isuzu dari Negara. Rupanya, sebelum ke Lempuyang rombongan itu melayat orang meninggal lebih dahulu. Mobil rombongan itu pun jatuh terperosok karena tak bisa naik di tanjakan sebelah atas rumah Mangku Pasek. ”Saya dengar salah seorang rombongan sudah mencegah agar jangan langsung ke Pura Lempuyang, tetapi saran itu tak gubris,” ujar Jero Mangku.
Sebagai umat Hindu khususnya di Bali, seperti yang sudah di katakan Jero Mangku Gede Wangi. Kita tidak boleh melupakan Pura Lempuyang hendaknya kita menyempatkan sesekali untuk tangkil kesana. Dan pantangan-pantangannya juga harus kita ingat dan pahami.
Semoga bermanfaat untuk semeton sareng sami. Jika ada penjelasan yang kurang lengkap atau kurang tepat. Mohon dikoreksi bersama. Suksma
(sumber : balipost.co.id, siwagama.blogspot.com)
oleh  Gede Laksana


" OM SHANTI, SHANTI, SHANTI, OM "

No comments:

Post a Comment

UDENG

" OM SWASTIASTU " Tata busana orang-orang Bali ketika melaksanakan suatu upacara atau kegiatan keagamaan memiliki ciri-ciri ...