Wednesday, 3 May 2017

FILOSOFI DAN CARA BERPAKAIAN

"OM SWASTIASTU"

Ada kebiasaan bagi umat Hindu untuk memakai pakaian adat jika melakukan persembahyangan ke Pura. Dan ini sekarang sudah menjadi keharusan dan kewajiban kita untuk mematuhinya. Apa sajakah itu? Mari kita simak tulisan di bawah ini.

Bali adalah pulau yang kental akan nuansa adat dan budaya-nya, yang mana adat dan budaya Bali berakar dari keyakinan Gama Tirtha, dan memiliki banyak filosofi terkandung didalamnya. Pakaian adalah suatu tren tertentu sesuai dengan fenomena yang dihadapi, namun kita sering lupa apa makna pakaian itu sendiri. Manusia adalah makhluk yang berbudaya dan pakian merupakan wujud budaya suatu individu dan bangsa. Pakaian memberikan suatu nilai dan warna dari budaya. Sebagai manusia yang memiliki pikiran cerdas pakaian merupakan buah pikiran yang matang untuk dapat memperlihatkan prestis atau harga diri ditengah-tengah orang lain yang membenahi diri dalam mencari jati diri.

Perlu juga kita ketahui, bahwa tetua terdahulu mulai dari kedatangan Maharsi Markandya hingga orang-orang suci berikutnya selalu mengajarkan ajaran dharma dengan berbagai metode, salah satunya adalah dengan menciptakan kegiatan yang dijadikan adat yang kemudian dikembangkan terus menurus hingga dibudayakan oleh orang bali. jadi Budaya Bali bukanlah kegiatan rutinitas biasa-biasa melainkan rutinitas adat yang bernapaskan dharma, mulai dari upacaranya, tarian, lukisan, hiburan, wayang kegiatan seni lainnya, ukiran bali, tata cara berpakian, tata ruang, desa/banjar, subak hingga sampai kepada tata kehidupan orang bali. Kesemuanya itu bernapaskan keyakinan pada ajaran dharma. jadi budaya bali tidak hanya rutinitas masyarakat saja melainkan kegiatan keagamaan yang dibudayakan.

Pakaian adat Bali lengkap biasanya dikenakan pada upacara adat dan keagamaan atau upacara perayaan besar. Sedangkan pakaian adat madya dikenakan saat melakukan ritual sembahyang harian atau pada saat menghadiri acara yang menggembirakan. Seperti pada saat pesta kelahiran anak, sukses memperoleh panen atau kelulusan anak dan penyambutan tamu.

Pakaian adat Bali menyimpan nilai filosofi yang sangat mendalam serta memiliki standarisasi dalam kelengkapannya. Tapi seiring berjalannya waktu, mode, dan tren globalisasi yang banyak memberikan perubahan, memberikan imbas juga kepada cara berpakaian adat di Bali, terutama cara berpakaian anak muda yang mengikuti saja arus yang sedang tren. Memang cara berpakaian adalah kebebasan berkreasi dari masing-masing individu tapi perlu diketahui. Dasar konsep dari busana adat Bali adalah konsep Tri Angga yang terdiri dari :
1) Dewa Angga : dari leher ke kepala, berupa udeng/ikat kepala
2) Manusa Angga : dari atas pusar sampai leher, baju/kebaya/saput
3) Butha Angga : dari pusar sampai Bawah, dengan kain (kamen)

Komposisi dan jenis pakaian adat Bali adalah : Busana Payas Agung, Busana Jangkep/Madia, dan Busana adat Alit. Pakaian adat Bali haruslah sopan, beretika, dan mencerminkan kedamaian. adapun penjelasan dari konsep tri anga tersebut diatas, yakni;

Pakian Adat Bali untuk Lelaki
1) Kamen, dalam menggunakan busana adat Bali diawali dengan menggunakan kain/kamen, dengan lipatan untuk putra kamen/wastra melingkar dari kiri kekanan berlawanan arah jarum jam (prasawya) karena merupakan pemegang dharma. Tinggi kamen putra kira-kira sejengkal dari telapak kaki karena putra sebagai penanggung jawab dharma harus melangkah dengan panjang, tetapi harus tetap melihat tempat yang dipijak adalah dharma. Pada putra menggunakan kancut (lelancingan) dengan ujung yang lancip dan sebaiknya menyentuh tanah (menyapuh jagat), ujungnya yang kebawah sebagai symbol penghormatan terhadap ibu pertiwi. Kancut juga merupakan symbol kejantanan.

2) Kampuh/Saput, untuk persembahyangan maupun kegiatan sosial yang bersifat formal, orang Bali tidak diperkenankan untuk menunjukkan kejantanan yang berarti pengendalian, tetapi pada saat ngayah kejantanan itu boleh ditunjukkan. Untuk menutupi kejantanan itu maka ditutupi dengan saput/kampuh. Seperti halnya dengan pemakaian kamen, Saputan melingkar berlawanan arah jarum jam (prasawya). Di zaman dahulu, pemakaian saput dikenakan di dada pada lingkar ketiak.Tinggi saputan kira-kira satu jengkal dari ujung kamen atau selutut, selain untuk menutupi kejantanan, saputan juga berfungsi sebagai penghadang musuh dari luar, karena dijaman dahulu, di dalam saput, dipinggang orang bali (warna ksatria) diselipkan sebilah keris yang merupakan senjata dijamannya. Tetapi dalam perkembangannya kini, saput dikenakan dipingang, yang tujuan utamanya hanya untuk menutupi kejantanan (simbolisasi dari nafsu) saja.

3) Umpal, setelah pemakaian kamen dan saputan, dilanjutkan dengan menggunakan selendang kecil (umpal) yang bermakna kita sudah mengendalikan hal-hal yang buruk. ikatan umpal berada di sisi kanan, yang artinya dharma memegang kendali. Pada saat inilah tubuh manusia sudah terbagi dua yaitu Bhuta Angga dan Manusa Angga. Penggunaan umpal diikat menggunakan simpul hidup di sebelah kanan sebagai symbol pengendalian emosi dan menyama. Pada saat putra memakai baju, umpal harus terlihat sedikit agar kita pada saat kondisi apapun siap memegang teguh Dharma.

4) Baju/Penutup Badan, lalu dilanjutkan dengan menggunakan baju (kwaca) dengan syarat bersih, rapi dan sopan. Baju adalah pengganti saput sedada (dijaman dahulu), yang mana merupakan penutup dada dan perut, simbolisasinya untuk menutup ego dan kesombongan pada diri manusia. Baju pada saat busana adat terus berubah-ubah sesuai dengan perkembangan. Pada saat kepura harus menunjukan rasa syukur kita, rasa syukur tersebut diwujudkan dengan memperindah diri.

5) Udeng/Destar (Ikat Kepala), pada bagian kepala yang kerap diistilahkan prabu, adalah tempat bersemayamnya Dewa, akal, pikiran, serta awal dari semua perbuatan yang diberkati oleh Hyang Widhi. Awalnya agar adanya keseragaman PHDI Bali (Parisadha Hindu Darma Indonesia) menetapkan udeng untuk ke pura haruslah berwarna Putih agar menciptakan kesan kejernihan pikiran dan kedamaian pikiran. Untuk berkabung berwarna hitam, dan untuk kegiatan sosial lainnya berwarna batik atau selain hitam/putih. Disamping itu udeng adalah simbol ngiket manah (memusatkan pikiran) yang merupakan sumber penggerak panca indria, karena itu udeng harusnya diikat dengan kedua ujung simpul atau muncuk udeng harus lurus ke arah atas. Mengapa? Karena itu simbol untuk memantapkan sang pemakai agar senantiasa berpikir lurus dalam memuja Yang Widhi. Kedua ujung udeng merupakan simbolisasi menjunjung konsep "Rwabhineda" yang merupakan akar dari keyakinan pada karma phala. Namun, simbol penting itu sekarang mulai bergeser dengan berbagai variasi (mereng ke-kiri atau ke-kanan). Udeng secara umum dibagi tiga yakni:
  • Udeng Jejateran (udeng untuk persembahyangan), menggunakan simpul hidup di depan, disela-sela mata, sebagai lambang cundamani atau mata ketiga. Juga sebagai lambang pemusatan pikiran, dengan ujung menghadap keatas sebagai symbol penghormatan pada Sang Hyang Aji Akasa. udeng jejateran memiliki dua bebidakan yakni sebelah kanan lebih tinggi, dan sebelah kiri lebih rendah yang berarti kita harus mengutamakan dharma. Bebidakan yang kiri symbol Dewa Brahma, yang kanan symbol Dewa siwa dan simpul hidup melambangkan Dewa wisnu, udeng jejataran bagian atas kepala atau rambut masih tidak tertutupi yang berarti masih brahmacara dan masih meminta. oleh beberapa sumber menyebutkan bahwa bidak udeng jejateran merupakan simbolisasi catur purusa artha, dimana "bidak kanan - lebih tinggi" yang artinya dalam hibup, materi (artha) merupakan tujuan yang diutamakan untuk mejalankan kehidupan ini. "bidak kiri - lebih rendah", merupakan simbol keinginan (kama) yang hanya bisa dicapai apabila artha sudah dicapai. "lis lipatan udeng" dengan "simpul udeng (ngiket)" di depan merupakan simbol Dharma, dimana setiap kegiatan dalam pencapaian Artha dan Kama harus berdasarkan dharma/agama. dengan 3 simbolisasi tersebut maka diharapkan pencapaian tujuan awal dari agama hindu yaitu "Jagathita" yang artinya kebahagiaan duniawi. dengan tercapainya jagathita diharapkan pencapaian tujuan akhir agama yaitu "moksa".
  • Udeng Dara Kepak (dipakai oleh warna ksatria), masih ada bebidakan tetapi ada tambahan penutup kepala yang berarti symbol pemimpin yang selalu melindungi masyarakatnya dan pemusatan kecerdasan.
  • Udeng Beblatukan (dipakai oleh pemangku), tidak ada bebidakan, hanya ada penutup kepala dan simpulnya di belakang dengan diikat kebawah sebagai symbol lebih mendahulukan kepentingan umum dari pada kepentingan pribadi.

Pakaian Adat Bali Perempuan
1) Kamen, sama halnya seperti Pakian Adat Bali Lelaki. Pertama diawali dengan memakai kamen tetapi lipatan kamen melingkar dari kanan ke kiri (searah jarum jam) sesuai dengan konsep sakti. Putri sebagai sakti bertugas menjaga agar si laki-laki tidak melenceng dari ajaran Dharma. Tinggi kamen putrid kira-kira setelapak tangan karena pekerjaan putri sebagai Shakti sehingga langkahnya lebih pendek. Setelah menggunakan kamen untuk putri memakai bulang yang berfungsi untuk menjaga rahim, untuk mengendalikan emosi.

2) Senteng/Selendang, pada putri menggunakan selendang/senteng diikat menggunakan simpul hidup dikiri yang berarti sebagai sakti dan me-braya. Putri memakai selendang diluar, tidak tertutupi oleh baju, agar selalu siap mengingatkan lelakinya kalau melenceng dari ajaran dharma, dilanjutkan dengan menggunakan baju (kebaya).

3) Ikat Kepala dan Pepusunganuntuk acara dewa yadnya, kaum putri menggunakan ikat kepala berbahan kain berwarna putih, serta menggunakan pepusungan. Pepusungan ada tiga jenis, yaitu: 
  • Pusung Gonjer yaitu di buat dengan cara rambut dilipat sebagaian dan sebagian lagi digerai,pusung gonjer di gunakan untuk putri yang masih lajang/ belum menikah sebagai lambang putri tersebut masih bebas memilih dan dipilih pasangannya. Pusung gonjer juga sebagai symbol keindahan sebagai mahkota serta sebagai stana Tri Murti
  • Pusung Tagel adalah untuk putri yang sudah menikah.
  • Pusung Podgala/Pusung Kekupu yaitu cempaka putih, cemapak kuning, sandat sebagai lambang Tri Murti
Filosofi pakaian adat Bali pada dasarnya bersumber pada ajaran Sang Hyang Widhi yakni Tuhan yang di yakini memberikan keteduhan, kedamaian dan kegembiraan bagi umat Hindu yang mempercayaiNya dan merupakan kepatuhan terhadap Sang Hyang Widhi.

Pertanyaan : "bagaimana dengan tren muda-mudi saat ini, dimana yang putri mengganakan kamen selutut bahkan ada yang sampai kelihatan pahanya serta yang putra mengganakan udeng tanpa simpul (udeng yang tidak diikat)?"

Trend dikalangan remaja mengenai pakaian adat yang dikenakan untuk bersembahyang ke Pura maupun kegiatan sosial saat ini dinilai telah melanggar aturan dan melanggar norma-norma keagamaan.

Seperti contohnya trend yang mengenakan bawahan adat bali (kamen) yang tidak lazim, "diatas lutut" dan kebaya yang lengannya diatas siku, serta kebaya dengan motip tipis, itu memang terlihat sangat mengganggu adat kesopanan di Bali. Pihak PHDI sendiri memang sudah menghimbau kepada pengempon Pura-pura Khayangan Tiga dan Pura Sad Khayangan mengenai hal ini kata I Gusti Ngurah Sudiana yang selaku Ketua PHDI Prov. Bali.

Peraturan yang mengikat dan tertulis memang tidak ada, karena ini lebih dari kesadaran Masyarkat itu sendiri. kita yang mengerti tentang norma dan budaya Bali hanya bisa menghimbau dan menjelaskan kepada masyarakat ataupun pengempon Pura tentang tata cara berpakaian di kawasan suci. Melalui tulisan ini diharapkan pemuda-pemudi Bali memahami estetika dan filosofi dari pakian Adat Bali ini, sehingga dalam keseharian tata cara berpakian hendaknya selalu berpegang pada ajaran dharma yang merupakan pokok dari norma agama. Peran orang tua ini juga penting dalam menjelaskan pada anak-anak mereka. Jikalau bisa, orang tua agar melarang anaknya untuk mengenakan pakaian tidak sopan ke Pura.

Kalau bukan umat Hindu sendiri yang menghargai/memberi contoh yang baik tentang kesopanan berpakaian ke pura, jadi siapa lagi yang patut?

Disadur dari http://cakepane.blogspot.co.id




" OM SHANTI, SHANTI, SHANTI, OM"

No comments:

Post a Comment

UDENG

" OM SWASTIASTU " Tata busana orang-orang Bali ketika melaksanakan suatu upacara atau kegiatan keagamaan memiliki ciri-ciri ...