"OM SWASTIASTU"
Pada rangkaian mantra Panca Sembah dalam persembahyangan masyarakat Hindu, Sembah Puyung adalah mantra pertama yang akan diucapkan. Dalam Sembah Puyung kedua telapak tangan dan jari-jari seharusnya dicakup di atas kepala. Tangan kosong. Selama ini banyak yang keliru dan menyederhanakan maknanya. Disebut Sembah Puyung karena tangan kosong tanpa bunga. Puyung memang mengandung makna kosong tapi sekaligus berati embang (sepi dan hening). Akibat ketidakpahaman akan makna istilah Sembah Puyung, kadang ada yang mengganti istilah ini menjadi Sembah Tanpa Serana (sembah tanpa sarana). Padahal makna "sarana" disini adalah segala sesuatu yang dapat dipakai sebagai alat dalam mencapai maksud atau tujuan. Bukankah tangan juga bagian dari sarana tersebut? Jadi kalau memang "Tanpa Sarana", bolehkah kita menyembah hanya dengan duduk bersila?
Mendengar pertanyaan dari penulis ini banyak orang yang menjawab dengan ketus. Dan menjelaskan kepada penulis, bahwa maksudnya itu tanpa memakai sarana bunga. Lalu mereka akan balik bertanya "masa kita Sembah Puyung! Menyembah kosong?" Saya hanya bisa tersenyum mendengar pertanyaan balik itu, karena sudah mengetahui alasannya dari Dharma Wacana, penulis pun mencoba menjelaskan.
Mari kita pelajari dulu pengertian dari mantra pertama Panca Sembah, agar kita mengetahui nanti kenapa dinamakan Sembah Puyung. Bunyi mantranya adalah ;
“Om àtmà tattwàtmà sùddhamàm swàha”.
artinya ;
atma = percikan kecil dari Ida Sang Hyang Widhi yang ada pada setiap makhluk hidup
tattwatma = hakekat
suddha = suci
mam = yang ada dalam diri saya
svaha = kata penutup dari mantra suci
Jadi maksudnya disini adalah "Ya Tuhan, sucikanlah hakekat kehidupan hamba"
Jadi makna sebenarnya dari Sembah Puyung adalah mensucikan Sang Hyang Atma/Sang Hyang Urip agar nantinya bertemu dengan Paramaatma. Atma adalah esensi dari puyung (kekosongan/keheningan). Ini adalah sebuah puja pada esensi keheningan diri (atma) yang dijadikan pembuka mantra Panca Sembah, lalu penutup Panca Sembah adalah Parama Shanti, berkulminasi pada Shanti (kedamaian).
Kata "Puyung" ini terdapat dalam konteks sebuah ungkapan pada masyarakat Bali: “Puyung Maisi” (kosong berisi), atau dapat juga kita simak para ahli spritual berkata, "ngalih isin puyung" (menelisik isi yang kosong); membuat jelas bahwa "Puyung" bukan bermakna kosong melompong. Puyung adalah titik dimana berhentinya materi dan penampakan. Titik dimana kita diajak menjadi lebih mendalam. Menghayati yang tak tampak. Baik di dalam dan di luar diri.
"Puyung" beresensi atma, demikianlah yang tersirat dalam Sembah Puyung. Sembah Puyung dengan begitu bukan sembah tanpa sarana (kembang-puspa), bukan pula memuja kosong melompong, tapi sembah sujud pada esensi dari Embang (kosong/hening). Dalam "Puyung" kita sejenak berhenti berpikir dengan otak yang terkotak-kotak, melepas semua kecerdasan maupun kebodohan, berhenti berkonsepsi, dan dengan tulus-bulat terjun ke lautan hening.
Jadi bisa kita menarik kesimpulan siapakah "Puyung" yang dimaksud disini, Beliau tak lain Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang tak berwujud tapi memenuhi segala ciptaanNya. Maka kenapa dalam Sembah Puyung kita meletakkan cakupan tangan diatas kepala, karena saat itu kita melakukan pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi.
Semoga dengan tulisan ini kita menjadi lebih paham dalam memaknai setiap makna-makna yang terkandung dalam mantra-mantra suci. Jikalau ada perbedaan pendapat tentang pemaknaan mantra pertama dalam Panca Sembah, saya sebagai penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya. Tulisan ini bukan maksud hati ingin menggurui, tapi hanya ingin meluruskan apa yang penulis simak dalam Dharma Wacana salah seorang Sulinggih.
Tulisan berikutnya akan kita bahas mantra Panca Sembah yang lainnya. ~ Suksma ~
mam = yang ada dalam diri saya
svaha = kata penutup dari mantra suci
Jadi maksudnya disini adalah "Ya Tuhan, sucikanlah hakekat kehidupan hamba"
Jadi makna sebenarnya dari Sembah Puyung adalah mensucikan Sang Hyang Atma/Sang Hyang Urip agar nantinya bertemu dengan Paramaatma. Atma adalah esensi dari puyung (kekosongan/keheningan). Ini adalah sebuah puja pada esensi keheningan diri (atma) yang dijadikan pembuka mantra Panca Sembah, lalu penutup Panca Sembah adalah Parama Shanti, berkulminasi pada Shanti (kedamaian).
Kata "Puyung" ini terdapat dalam konteks sebuah ungkapan pada masyarakat Bali: “Puyung Maisi” (kosong berisi), atau dapat juga kita simak para ahli spritual berkata, "ngalih isin puyung" (menelisik isi yang kosong); membuat jelas bahwa "Puyung" bukan bermakna kosong melompong. Puyung adalah titik dimana berhentinya materi dan penampakan. Titik dimana kita diajak menjadi lebih mendalam. Menghayati yang tak tampak. Baik di dalam dan di luar diri.
"Puyung" beresensi atma, demikianlah yang tersirat dalam Sembah Puyung. Sembah Puyung dengan begitu bukan sembah tanpa sarana (kembang-puspa), bukan pula memuja kosong melompong, tapi sembah sujud pada esensi dari Embang (kosong/hening). Dalam "Puyung" kita sejenak berhenti berpikir dengan otak yang terkotak-kotak, melepas semua kecerdasan maupun kebodohan, berhenti berkonsepsi, dan dengan tulus-bulat terjun ke lautan hening.
Jadi bisa kita menarik kesimpulan siapakah "Puyung" yang dimaksud disini, Beliau tak lain Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang tak berwujud tapi memenuhi segala ciptaanNya. Maka kenapa dalam Sembah Puyung kita meletakkan cakupan tangan diatas kepala, karena saat itu kita melakukan pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi.
Semoga dengan tulisan ini kita menjadi lebih paham dalam memaknai setiap makna-makna yang terkandung dalam mantra-mantra suci. Jikalau ada perbedaan pendapat tentang pemaknaan mantra pertama dalam Panca Sembah, saya sebagai penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya. Tulisan ini bukan maksud hati ingin menggurui, tapi hanya ingin meluruskan apa yang penulis simak dalam Dharma Wacana salah seorang Sulinggih.
Tulisan berikutnya akan kita bahas mantra Panca Sembah yang lainnya. ~ Suksma ~
No comments:
Post a Comment